10 NOVEMBER '45. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?
Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara
Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk
membentuk
South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC di bawah pimpinan
Vice Admiral
Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian
Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan
Hindia.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas Hindia Belanda berada di bawah
wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima tentara Sekutu
Komando Wilayah Pasifik Baratdaya (
South West Pacific Area Command – SWPAC).
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, MacArthur diperintahkan
untuk segera membawa pasukannya ke Jepang, dan kewenangan atas wilayah
SWPAC diserahkan kepada Mountbatten.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan kepadanya, Mountbatten menulis:
“
Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the
South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been
given no hint of the political situation which had arisen in Java. It
was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence
before the war; and that it had been supported by prominent
intellectuals, some of whom had suffered banishment for their
participation in nationalist propaganda –but no information had been
made available to me as to the fate of this movement under the Japanese
occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who
had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose
that the reoccupation of Java would present any operational problem
beyond the of rounding up the Japanese.”
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas,
bahwa informasi yang diberikan oleh Dr. van Mook kepada Mountbatten
salah dan menyesatkan sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi
rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian
dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (
The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI -
Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (
Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh
tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan
Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Pada waktu itu, para pemimpin
Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang
sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada
status quo,
seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada
perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai
komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan
kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di
Singapura sebelum berangkat ke Jakarta –mungkin waktu itu pernyataan
tersebut tulus disampaikannya- telah membesarkan hati pimpinan Republik
Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik
Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris.
Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi
surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila
pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris
dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal
tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para
pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima
perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa
perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit,
perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September
1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga
divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa
dan Sumatera.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the
Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan
jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred
Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip
Christison, juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba
di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan
adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal
Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal
Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di
bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Brigade 49, dengan julukannya “
The Fighting Cock” di bawah
pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, 42 tahun,
mendarat di surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Brigade 49 adalah bagian
dari Divisi 23, yang seharusnya ditugaskan untuk Jawa Barat dan Jawa
Tengah, namun karena Divisi 5 yang seharusnya ditugaskan ke Jawa Timur,
masih tertahan di Malaysia, oleh karena itu, Mallaby diperintahkan untuk
segera ke Surabaya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang
Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota
Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal
Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa,
memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam
menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di
Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam
seruan tersebut tercantum a.l.:
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali
semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa
yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara
Sekutu, akan ditembak di tempat (
persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena
jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia
tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun
pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah
atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari
pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia,
karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang
ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah
Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di
Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul
dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban
baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak
ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan
terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu
menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00,
Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo
dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal
Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian
Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan
melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke
markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah
jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan
keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban
terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai
pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi.
Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak
Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila
tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh
pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan
pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan
jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000
orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di
Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih
30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan
hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian
terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris
yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota
Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”
Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor
Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun
mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu
tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari
Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia.
Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya
bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan
dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang
dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak
mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini,
informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak
Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui
perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak
Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar
dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir
Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada
Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60
pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan
berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak,
Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR
Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh
Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar
Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan
Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula
pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan,
Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana
Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu
membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi
(KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan,
Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar
terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak
dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai
pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan
dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR
Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut,
Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000
pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu
runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan
dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata
dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah,
juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang
membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang
Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya
penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar
Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso,
Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan
blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris
dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris,
terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah.
Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat
Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari
sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan
Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab
berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan
pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya
bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju
menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan
kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya
mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima
kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka
sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih,
meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan
disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“……..
on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the
company had been in so bad a position before, that any further fighting
would lead to their being wiped out. "
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan
yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari
Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan
yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya
sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk
melakukan hal itu.
Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos
pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris
menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat
Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith)
memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih),
sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera
menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta
bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya
Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya.
Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”
The heroic resistance of the british troops could only end in the
extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the
passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope
rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara
Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada
yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh
seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh
Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir
Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “
incident”
di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya
sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang
sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang
ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (
ADC - aide-de-camp
= perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan,
bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab,
bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya
membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui
telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan
perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern
keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya
menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang
militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan
pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama
lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak
Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa
tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah
mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung
dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata
berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater
Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
“
We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki
adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu.
Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M.
Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya
dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera
hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran.
Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement
regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between
President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby,
concluded on the 29th October 1945.” Isinya a.l.:
· Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan
PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan
ketenteraman kota Surabaya.
· Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
· Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh
sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27
Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima
Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga
dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan
Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak
Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam
ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada
tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata
mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi
hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan,
yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi
kesepakatan antara lain:
·
The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be
annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas
shall not be carried out.
· The Allied forces shall not guard the city.
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.Yang
terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan
perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap
TKR yang bersenjata.
Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan
sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris
bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk
menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6
di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung
Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada
permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan
Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan
Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi
tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda.
Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan
berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar
kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan
tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke
gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam
gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada
di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat
setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari
gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah
gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia.
Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak
dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri
ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu
dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung
jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para
ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang
memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut
justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa
perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling
menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota
Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946,
dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg,
menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely
responsible. In particular, I have learned from officers who have
recently returned that some of the stories which have been told, not
only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front
Bench in his House, have been very far from accurate and have
innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of
Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we
accepted it as such. I have learned from officers who were present when
it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier
Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The
incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place
in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a
truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you
like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had
been cut off from telephonic communication and did not know about the
truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came
out from the discussions, walked straight into the crowd, with great
courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him.
Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent
again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered
the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and
the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in
good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order
to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally.
Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed
in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed
by Indonesians who were approaching his car; which exploded
simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my
information came absolutely at first hand from a British officer who was
actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason
to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who
were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack
on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh
secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara
Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap
Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi
“dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas
dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah
Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat
pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis
kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off
and on and had already casualties. The firing came from other buildings
on the square and by and large we were able to contain it. We could,
however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building
and I had to bluntly tell them that I would fire if they started
pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby
or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that
time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then
shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw
were then allowed to go into the building if they took an Indonesian
officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a
little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the
Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no
option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt.
Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any
orders to Capt. Shaw..”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung
Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak
Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya
dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah
keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D.
Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui
Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada
waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata
telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di
dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan
kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur,
sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar
Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu
terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini
sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan
oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as
it applied to us, but thought that some at least of the Company might
get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the
necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara
Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar
tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung.
Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian
membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid
(sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic)
guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly
refused to consider this proposal. After further pressure, however,
Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job
as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in
Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier
at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari KaptenShaw
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh
Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang
mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I.
Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai
yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah,
dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan
besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10
November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang
saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno.
Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan
diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November
1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan
menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi
tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas
akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan
Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu
itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia
memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari,
sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan
Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier
Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I
were ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the
Bde., to proceed to the Government offices, where we were each to
collect an Indonesian representative. From there one of us was to go
north, and the other south, through the town, and try to persuade the
mobs to go back to their barracks. Brigadier Mallaby was at this time in
conference with the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had
refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with
the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the
leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which
was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards
west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town.
One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this
building against about five hundred Indonesians, and had been in
considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the
various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade
them to return to their barracks. The speeches were at first quite well
received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only
gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20
yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly
deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party
leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had
seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords
were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little
doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic)
down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a
safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to
consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who
was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and
who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya,
agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once
countemanded this: on further consideration, he decided that the company
had been in so bad a position before, that any further fighting would
lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us,
but thought that some at least of the company might get away.
Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary
orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt.
Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the
cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland
in the middle, and myself on the outside nearest to the building in
which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a
machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided
that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the
order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car
crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to
the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us,
all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle
went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time
it was dark. At the end of that time, the firing died down to some
extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being
collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it
away. That failed and one of them opened the back door on the
Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that
he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the
party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one
of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The
Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly
reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier.
It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die,
but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt
that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these
details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public.
In this second report Smith offered the following explanation:”In the
report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated
that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to
spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and
remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of
the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and
waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which
grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade,
held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it
out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded,
Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited
for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas.
As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to
interfere with us it is presumed that they were killed by the
grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five
hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang
benar pihak Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip
dengan keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan
Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum
penembakan terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23
November 1973, Smith menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He
approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at
the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at
this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di
dalam mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang
mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan
itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan
jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or
17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any
sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter
reported and while I certainly could not state that I heard everything
that happenned, I think I should have remembered this, if not now after
30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all
fairness, I must say that there were moments when my attention was
distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember
spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that
I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely
gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet
between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear
when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was
able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind
in the hope that some of the men at least might reach safety, but the
orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building
should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of
safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to
open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that
has always been quite firmly established in my memory is that the
orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the
building.”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas
sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam
tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan
keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus
oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa
Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati
tubuh Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka,
artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit
dikenali, karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam
tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya
untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau
ciri-ciri tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada
Kolonel dr. W. Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan
perintah untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu
menginstruksikan Kapten Shaw untuk memerintahkan tentara Inggris yang di
dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa
senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu
perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai menembak.
Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat
tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat
diragukan. Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus
menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan
granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang mobil yang mereka
dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan
bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat tersebut sehingga dengan
demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris
sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas
karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat
oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo,
seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo
ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil
kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan
granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui
oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith
tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland
di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby.
Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan
granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di
sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain
Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil.
Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah
penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang
telah tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang
dilengkapi sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak
dengan pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil,
sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi
paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia
menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah
kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan.
Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian
jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan
pemuda tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut
Smith- ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang
menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak
satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa
pemuda yang menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang
pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul
Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah
terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post
mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945,
menuliskan ((Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray,
London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to
this review but it is interresting that the very latest evidence
suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a
deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable
confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General
Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had
proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his
unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and
informed contact with population, the story of Sourabaya may well have
been different.”
Setelah Letnan Jenderal Sir Phillip Christison mengeluarkan ancamannya,
dalam waktu singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam
jumlah sangat besar, mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang
Dunia II usai. Pada 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson,
berangkat dari Jakarta dengan HMS Sussex dan mendaratkan 1.500 Marinir
di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian
Division, berangkat dari Malaysia memimpin pasukannya dan tiba di
Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang
berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan.
Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El
Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, Perwira Jerman yang legendaris
dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari
Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan
Mallaby. Rincian pasukan Divisi 5:
4th Indian Field Regiment.
5th Field Regiment.
24th Indian Mountain Regiment.
5th (Mahratta) Anti-Tank Regiment (artileri).
17th Dogra Machine-Gun Battalion.
1/3rd Madras Regiment (H.Q. Battalion).
3/9th Regiment (reconnaissance battalion)
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds)
9th Indian Infantry Brigade.
2nd West Yorkshire Regiment.
3/2nd Punjab Regiment.
1st Burma Regiment.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal H.G.L. Brain)
123rd Indian Infantry Brigade.
2/1st Punjab Regiment.
1/17th Dogra Regiment.
3/9th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.J. Denholm Young)
161st Indian Infantry Brigade.
I/1st Punjab Regiment.
4/7th Rajput Regiment.
3/4th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.H.W. Grimshaw)
Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat
HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta
sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri
dari tank kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman,
sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan
Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron
pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4
Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat
terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur
Suryo. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All
Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua
merupakan penjelasan/rincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November pukul 14.00. adalah :
“November, 9th. 1945.
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
On
October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without
provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the
purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing
relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law
and order. In the fighting which ensued British personel were killed or
wounded, some are missing, interned women and children were massacred,
and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to
implement the truce which had been broken in spite of Indonesian
undertakings.
The above crimes against civilization cannot go
unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without
fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them
with all the sea, land and air forces at my disposal, and those
Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible
for the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.
Instructions
My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th. November.
2.
All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements,
the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will
report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in
single file carrying any arms they possess. These arms will be laid
down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the
Indonesians will approached with their hands above their heads and will
taken into custody, and must be prepared to sign a document of
unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry
arms and who are in possession of same will report either to the
roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the
Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00
hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in single
file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in
the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be
permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped will
taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill
dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police
and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular T.K.R.
4.
These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and
anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable
to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6.
Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so
provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only
towards Modjokerto or Sidoardjo by road.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java
Mansergh
telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga boleh
dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi dan Kepala RadiRadio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00.
Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka
miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan di tempat berjarak 100
yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu harus
mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan
ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa
syarat.”
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth
Movements, the Chief Police and the Chief Official of the Soerabaya
Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will
approach in single file carrying any arms they possess. These arms will
be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the
Indonesians will approached with their hands above their heads and will
taken into custody, and must be prepared to sign a document of
unconditional surrender.)
Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen
menyerah tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar
ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di
Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai
pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH
TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan yang baru
saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol,
tombak, pisau, pedang, keris, bambu runcing, tulup, panah berbisa atau
alat tajam yang dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya
memutuskan, untuk tidak menyerah kepada tentara Sekutu dan memilih untuk
melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari
meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung
sampai malam hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari
udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah
pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan
juga pasar-pasar. Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi
dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang dilancarkan oleh pesawat
pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak
menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota segera
memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak ke luar kota.
Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik
Indonesia maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat
manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk
mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat
tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit
menceriterakan, bahwa korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya
ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki
satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia,
kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di
selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga,
kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran
menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong ...
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan
diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan
pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara
yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat
buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat dilupakannya:
“… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua
kakinya hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah
sehabis pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan kedua
kakinya melintang di atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api
yang lewat, sehingga kedua kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih
sadar waktu dibaringkan ke tempat tidur, tetapi sebelum kita dapat
menolongnya dia berseru:
‘Merdeka! Hidup Indonesia!’,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda
yang menatap wajah anak perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun,
yang tewas akibat lengannya putus terkena pecahan peluru mortir. Dia
menggendong anak itu ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya
telah tewas ketika sampai di Sepanjang. Kami menanyakan:
‘Di mana ayah anak ini?’
Ibu muda itu menjawab: ‘Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.’
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan,
tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan
Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk
melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah
korban yang tewas. Abdulgani menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan
1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan
luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa
Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah
yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam
Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan,
Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di
tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat
dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi
keramat kota Surabaya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis
lain, Kolonel dr. Wiliater Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat
agresi militer Inggris dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian
terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan
adanya serangan tentara Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja
diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja tewas atau luka-luka,
termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, bahkan pasien-pasien yang
rumah sakitnya ikut terkena bom. Pelaku sejarah yang menjadi saksi mata
menilai pemboman tersebut adalah suatu kebiadaban.
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10
sampai 22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang
atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban
di pihak Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony
James-Brett, korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30
Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang
(18 perwira dan 374 prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris
dalam pertempuran dari tanggal 28 Oktober – 28 November 1945 mencapai
1.500 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal
India/Pakistan melakukan desersi dan bergabung dengan pihak Republik
Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the
extent to which they proved that Indonesian nationalism was not a
shallow, effiminate, intellectual cult but a people-wide, tough and
urgent affair.”
Willy Meelhuijsen dalam bukunya “Revolutie in Soerabaya, 17 agustus – 1
december 1945” mengutip seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs,
yang menulis:
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of
Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of
rallying cry for the Revolution. It also convinced the British thet
wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of
Sourabaya was a turning point for the Dutch as well, for it schocked
many of them into facing reality. Many had quite genuinely believed that
the Republic represented only a gang of collaborators without popular
support. No longer could any serious observer defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari empat pertempuran dan
perlawanan terhadap tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa,
Pertempuran “Medan-Area” dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris
menyadari, bahwa masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui
kekuatan militer, dan Inggris sebagai tulasng punggung Belanda waktu
itu, kemudian memaksa Belanda ke meja perundingan, dan Inggris menjadi
fasilitator pertama dalam perundingan Linggajati.
Alasan pemboman yang sebenarnya
Apabila dua butir alasan yang tertera dalam ultimatum 9 November 1945
tidak benar, apa alasan sebenarnya, yang membuat Inggris mengerahkan
pasukannya yang terbesar dan termodern setelah Perang Dunia II usai?
I. Alasan psikologis-emosional.
· Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49
adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The
Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di
hutan-rimba Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka
“dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang
MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan
menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga
persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh
korban di pihak Inggris.
· Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih
dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun.
Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang
perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris
memuncak pada 10 November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya,
dua pesawat terbang mereka berhasil ditembak jatuh oleh pejuang
Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari
kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy
Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds
dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut adalah:
- sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan
dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur
total;
- sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
- solidaritas korps, membalas dendam.
II. Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan
jalan bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan
beberapa perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika
berlangsung pertempuran melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di
Surabaya, perlahan-lahan Belanda mendatangkan pasukannya ke Indonesia,
sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh pasukan Inggris telah ditarik
dan diganti oleh pasukan Belanda…dan sebagaimana kita ketahui, itulah
awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid dua. Penilaian mengenai
tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati dua hal:
· Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945),
hasil pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah
mengembalikan situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti
mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya.
Keputusan tersebut diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal
ini terbukti dari surat Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme
Commander South East Asia, kepada komandan-komandan divisi, yang isinya:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You
are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the
East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that
island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In
keeping with the provisions of the Yalta Conference you will
re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch
Administration, when it is in a position to maintain services.
The
main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have
shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence
reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location
which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no
doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are
bound to maintain the status quo which existed before the Japanese
Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will
re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch
Administration, when it is in a position to maintain services.” dan “……
the
local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain
the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
· Melaksanakan
Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian
antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945
di Chequers, Inggris, yang isinya kesediaan Inggris membantu Belanda
dalam upaya untuk kembali berkuasa di Indonesia. Kesepakatan 24 Agustus
1945 tersebut diperkokoh oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di
Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang dihadiri para petinggi kedua
negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco tanggal 10 Desember 1945
menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di Singapura, Letnan
Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya untuk
menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk
mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi
undang-undang dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan
Belanda. Di samping melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis
Indonesia yang –katanya- dipersenjatai Jepang” kelihatannya Inggris
memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi perjanjian
bilateral mereka dengan Belanda, serta menjalankan hasil keputusan
Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada “Status Quo”
seperti sebelum invasi Jepang.
Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di
Surabaya pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh
garis komando, dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral
Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia
(AFNEI), Letnan Jenderal Sir Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor
Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C.
Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan brigade, seluruhnya adalah
bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan,
apabila pendekatan permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan logis
(logical approach), yaitu dengan menggunakan kaidah kausalitas
(Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari kronologi
kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari sesuatu
peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti satu persatu, maka
rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:
· Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi.
Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau
karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
· Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal,
Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock”
Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom
Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh
Mallaby sendiri. Perintah menembak ini, apapun alasannya jelas telah
melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan
Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
· Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
· Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27
Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara
Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini
ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan
Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober.
Bila dinilai tingkat kesalahan, maka akan terlihat:
· Mengenai tewasnya Mallaby, kemungkinan kesalahan ada pada kedua belah
pihak, walaupun kemungkinannya lebih besar, bahwa Mallaby tewas akibat
granat yang dilempar oleh Captain Smith. Di sini dapat dikemukakan
pendapat J.G.A. Parrot, sebagai konklusi atas analisisnya, yaitu
pertanyaan ke 3, mengenai siapa yang bersalah atas tewasnya Brigadier
Mallaby:
”
Who, if anyone to blame for Brigadier Mallaby’s death?” ,
maka Parrot menulis, bahwa tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri:
”
….In the circumstances the only answer can be given to Question 3 is that Brigadier Mallaby was himself responsible for the situation that resulted in his death.”
Kesimpulan inilah yang sangat penting!
· Berdasarkan kesaksian Kapten Smith, Mayor Gopal dan keterangan Tom
Driberg -yang memperoleh informasi dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby-
telah diakui oleh pihak Inggris, bahwa yang memulai menembak adalah
tentara Inggris yang berada di Gedung Internatio, atas perintah Mayor
Gopal. Dengan demikian, terjadinya tembak-menembak yang mengakibatkan
tewasnya Mallaby adalah kesalahan Inggris.
· Pecahnya pertempuran 28 Oktober adalah kesalahan Inggris, yaitu
provokasi pamflet dari Jakarta tertanggal 27 Oktober, karena dengan
demikian Inggris jelas telah melanggar kesepakatan tanggal 26 Oktober
1945 antara pimpinan militer Inggris (Mallaby) dan pimpinan Republik
Indonesia di Surabaya.
Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah
kausalitas, dari rangkaian kejadian tersebut di atas dapat disimpulkan,
bahwa pemicu segala malapetaka dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di
Surabaya pada bulan November 1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27
Oktober 1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan Inggris.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Tentara Inggris
Dengan agresi militer yang dilancarkan mulai tanggal 10 November 1945,
tentara Inggris telah melakukan sejumlah pelanggaran besar. Dari hasil
analisis, pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Inggris adalah
sebagai berikut:
· Pelanggaran Kedaulatan Republik Indonesia
Indonesia
telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan
agresi militer yang dilancarkan tentara Inggris atas suatu wilayah
Republik Indonesia, dilakukan mulai tanggal 10 November 1945.
· Pelanggaran Atlantic Charter dan Charter for Peace
Walaupun pada saat itu Republik Indonesia belum diakui oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB), situasi dunia waktu itu sudah hangat dengan
pernyataan kemerdekaan dari berbagai negara bekas jajahan. Pengakuan
resmi hanya masalah waktu saja. Atlantic Charter mengenai “Rights for
Selfdetermination" (hak untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap
bangsa) dan kerjasama antar bangsa dalam menyelesaikan pertikaian
internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1941, Presiden Amerika Serikat,
Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill
menandatangani Atlantic Charter yang isinya a.l.:
“…Kami menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan
pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya dan kami menghendaki
supaya hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri (self determination)
dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan ...”
Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa
negara di San Francisco, yang menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni
1945. Kesepakatan beberapa negara di San Francisco tersebut menjadi
dasar pembentukan PBB, yang diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain
tidak konsisten dengan Atlantic Charter yang ditandatangani oleh Perdana
Menteri Inggris, Inggris sebagai salah satu negara pendiri PBB
melanggar beberapa prinsip yang telah mereka tentukan sendiri. Ini dapat
dilihat dari Preambel serta beberapa pasal Anggaran Dasar PBB. Dalam
informasi yang dikeluarkan oleh PBB tertera:
“
The United Nations was established on 24th October 1945 by 51
countries committed to preserving peace through international
cooperation and collective security. When States become Members of the
United Nations, they agree to accept the obligations of the UN Charter,
an international treaty which sets out basic principles of international
relations. According to the Charter, the UN has four purposes: to
maintain international peace and security, to develop friendly relations
among nations, to cooperate in solving international problems and in
promoting respect for human rights, and to be a centre for harmonizing
the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the UN,
all the Member States - large and small, rich and poor, with differing
political views and social systems - have a voice and vote in this
process.”
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November
1945, setelah berdirinya PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri
dan anggota PBB, Inggris telah menandatangani persyaratan untuk mematuhi
Charter for Peace, Preambel dan Anggaran Dasar PBB. Kelihatannya memang
benar, bahwa Inggris terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun
perjanjian yang telah mereka setujui dan tandatangani.
· Pelanggaran Preambel PBB
Dalam Preambel PBB tertulis a.l (lihat Web site: www.UN.org)
-
to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and
-
to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth
of the human person, in the equal rights of men and women and of
nations large and small, and
- to establish conditions under which
justice and respect for the obligations arising from treaties and other
sources of international law can be maintained, and
- to promote social progress and better standards of life in larger freedom,
AND FOR THESE ENDS
- to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbours, and
- to unite our strength to maintain international peace and security, and
-
to ensure, by the acceptance of principles and the institution of
methods, that armed force shall not be used, save in the common
interest, and
- to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples,
HAVE RESOLVED TO COMBINE OUR EFFORTS TO ACCOMPLISH THESE AIMS
Accordingly,
our respective Governments, through representatives assembled in the
city of San Francisco, who have exhibited their full powers found to be
in good and due form, have agreed to the present Charter of the United
Nations and do hereby establish an international organization to be
known as the United Nations.
· Pelanggaran Bab 1 (Pasal 1 dan 2), Anggaran Dasar PBB.
Bab 1, Pasal 1:
The Purposes of the United Nations are:
1.
To maintain international peace and security, and to that end: to take
effective collective measures for the prevention and removal of threats
to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other
breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in
conformity with the principles of justice and international law,
adjustment or settlement of international disputes or situations which
might lead to a breach of the peace;
2. To develop friendly relations
among nations based on respect for the principle of equal rights and
self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to
strengthen universal peace;
3. To achieve international co-operation
in solving international problems of an economic, social, cultural, or
humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for
human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as
to race, sex, language, or religion; and
4. To be a centre for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends.
Bab 1, Pasal 2:
The
Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in
Article 1, shall act in accordance with the following Principles.
1.
All Members shall settle their international disputes by peaceful means
in such a manner that international peace and security, and justice, are
not endangered. All Members shall refrain in their international
relations from the threat or use of force against the territorial
integrity or political independence of any state, or in any other manner
inconsistent with the Purposes of the United Nations.
2. All Members
shall give the United Nations every assistance in any action it takes
in accordance with the present Charter, and shall refrain from giving
assistance to any state against which the United Nations is taking
preventive or enforcement action.
3. The Organization shall ensure
that states which are not Members of the United Nations act in
accordance with these Principles so far as may be necessary for the
maintenance of international peace and security.
4. Nothing contained
in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene
in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any
state or shall require the Members to submit such matters to settlement
under the present Charter; but this principle shall not prejudice the
application of enforcement measures under Chapter Vll.
· Pelanggaran HAM
-
Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crime against humanity)Di
dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil.
Tindakan tentara Inggris untuk membalas dendam dendam atas tewasnya
seorang perwira tinggi, telah mengakibatkan tewasnya belasan ribu,
bahkan mungkin lebih dari 20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya
banyak sarana/prasarana nonmiliter, karena waktu itu sasaran militer
sendiri tidak banyak di dalam kota Surabaya.
- Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 100.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced
persons) ke luar kota Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang
melekat di tubuh, karena dalam situasi kepanikan, tidak sempat
memikirkan untuk membawa benda berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh
pengungsi tersebut berlanjut selama berbulan-bulan, sebelum mereka
berani kembali ke kota yang telah hancur.
- Penyimpangan Tugas Allied Forces
Tugas yang diberikan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu/Serikat) hanyalah tiga butir, yaitu:
1. Melucuti persenjataan tentara Jepang serta memulangkan kembali ke negaranya.
2. Rehabilitasi tawanan tentara Sekutu dan interniran (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees –RAPWI).
3. Memulihkan keamanan dan ketertiban (
To maintain Law and Order).
Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu
Belanda kembali berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada merupakan
perjanjian rahasia antara Churchill dan Roosevelt di sela-sela
konferensi Yalta dan perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda
(lihat dokumen Lord Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau
penunggangan tugas Allied Forces serta penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan yang diberikan oleh Allied Forces kepada tentara Inggris dan
Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik hidden agenda di konferensi
Yalta yang diperkuat dengan deklarasi Potsdam, serta perjanjian
bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs Agreement, tidak sejalan dengan
tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando Tentara
Sekutu Asia Tenggara.
- Kejahatan Perang (War Crimes)
Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
dan sudah mendapat pengakuan dari beberapa negara. Kini Republik
Indonesia juga tercatat sebagai anggota PBB dengan hari kemerdekaan
adalah 17.8.1945. Tidak ada pernyataan perang dari pihak mana pun, baik
dari pihak Inggris maupun dari pihak Indonesia. Bahkan pihak Indonesia
telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya pertempuran.
Alasan Inggris waktu itu adalah menumpas ekstremis, dengan mengabaikan
bahwa “ekstremis” tersebut ada di dalam wilayah kedaulatan Republik
Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh tentara Inggris –terbesar
setelah berakhirnya Perang Dunia II- tidak dalam konteks perang dan
tanpa pernyataan perang. Pemboman terhadap obyek-obyek non-militer dan
pembunuhan terhadap
non-combatant dalam agresi militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang (
war crimes).