Senin, 16 Juli 2012

Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945

KEABSAHAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

Catatan Batara R. Hutagalung

Pendahuluan
Sampai hari ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “pelimpahan kedaulatan” (soevereinetietsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). (Lihat tulisan Batara R. Hutagalung di harian Rakyat Merdeka pada 2 dan 3 Oktober 2005. Juga dapat dibaca di

Beberapa hasil KMB antara lain:
1. Pembentukan Uni Indonesia – Belanda, di mana kepala Uni tersebut adalah Ratu Belanda.
2. RIS yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah India – Belanda, diharuskan membayar utang pemerintah India - Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden. Di dalamnya termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah India – Belanda untuk membiayai agresi militer I, 21 Juli 1947 dan agresi militer II, 19 Desember 1948. Utang tersebut dicicil dan telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan oleh pemerintah Republik Indonesia tahun 1956.
3. Mantan tentara KNIL yang ingin masuk TNI harus diterima. Di tahun 70-an, beberapa dari mereka mencapai pangkat jenderal dan berada di pucuk pimpinan TNI.
4. Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga ketika penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Irian barat tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian secara yuridis bagi pemerintah Belanda, Irian (Papua) Barat bukan bagian dari NKRI. Tahun 2000 pemerintah Belanda menugaskan dan membiayai pakar sejarah Prof. Dr. Pieter Drooglever untuk melakukan penelitian kembali mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Irian Barat. Sejarah mencatat, PEPERA yang pelaksanaannya di bawah pengawasan PBB, telah disahkan oleh PBB tahun 1969.
Setelah melakukan penelitian selama 5 tahun dan dengan biaya yang sangat besar, tahun 2005, Drooglever menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku setebal 740 halaman yang berjudul “Act of Free Choice.” Secara singkat, Drooglever menilai, bahwa PEPERA adalah suatu kecurangan besar.
Di sini patut dipertanyakan, mengapa setelah 30 tahun, di tengah-tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat, pemerintah Belanda mengangkat kembali peristiwa ini.

Pada tahun 1956 pemerintah RI membatalkan secara sepihak Perjanjian KMB. (Teks UU Pembatalan tersebut lihat
http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/11/pembatalan-hubungan-indonesia-nederland.html).
Selain itu, pemerintah RI juga memutuskan untuk menghentikan pembayaran sisa utang yang harus dibayar sebesar sekitar 500 juta gulden. Pada saat itu, dari jumlah 4 ½ milyar gulden, telah dibayar sebesar 4 milyar.

Pada 20 Mei 2005, satu LSM, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), menyampaikan petisi kepada Perdana Menteri Belanda Balkenende dan menuntut pemerintah Belanda untuk: (mengenai KUKB lihat
http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/komite-utang-kehormatan-belanda-kukb.html)

1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
2. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM, kejahatan perangdan kejahatan atas kemanusiaan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
3. Memberi kompensasi kepada keluarga korban agresi militer Belanda.

Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa pemerintah Belanda kini menerima proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 secara moral dan politis, serta menyampaikan rasa penyesalan atas jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak.

Dalam suatu wawancara di satu stasiun TV di Jakarta Ben Bot menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan secara yuridis telah diberikan pada akhir tahun 1949, berarti pada waktu pelimpahan kewenangan kepada Republik Indonesia Serikat. Dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya dapat diberikan satu kali. Dia juga mengatakan, bahwa kompensasi telah diberikan oleh pemerintah Belanda melalui berbagai bantuan yang telah diberikan kepada Indonesia. (Sebagian teranskrip wawancara dapat dibaca di
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/belanda-tetap-tak-akui-kemerdekaan-ri.html)

Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, sebelum berangkat ke Jakarta, dalam acara peringatan hari pembebasan para interniran Belanda dari kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia, dia menyatakan bahwa kini pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945. (Teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/toespraak-ter-gelegenheid-van-de-15.html)

Pernyataan ini sebenarnya sangat mengejutkan, karena berarti sampai tanggal 16.8.2005, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia tidak eksis samasekali dan baru pada 16.8.2005 diterima eksistensinya, namun tetap tidak diakui secara yuridis. Ini juga berarti Republik Indonesia disamakan dengan ANAK HARAM, yang hanya diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya.

Dalam acara peringatan 61 tahun peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda Dr. Nikolaos van Dam juga menyampaikan penyesalan. Namun Ketua KUKB menyatakan, bahwa penyesalan (regret) saja tidak cukup. Pemerintah Belanda harus menyatakan permintaan maaf (apology), sebagaimana yang dituntut oleh Belanda kepada pemerintah Jepang, atas penderitaan yang dialami oleh para interniran Belanda di kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia di masa pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945.

Sejarah mencatat, bahwa pada 16 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan pada 17.8.1950, Presiden Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan RI, yang prokamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945.

Dengan demikian, negara federal yang diakui de jure oleh pemerintah Belanda sudah tidak ada, dan pemerintah Belanda kini berhubungan dengan NKRI.
Memang bagi pemerintah Belanda sangat dilematis, sebab apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, maka akan membawa konsekwensi yang sangat berat bagi Belanda, yaitu:
1. Dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi polisional I dan II” yang dilancarkan pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948, tidak lain adalah agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka dan berdaulat,
2. Pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang dari Belanda, seperti yang dilakukan oleh negara-negara korban agresi militer Jepang terhadap Jepang,
3. Para veteran Belanda menjadi penjahat perang.

Namun di lain pihak, apabila Indonesia tetap membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka bangsa Indonesia tetap membiarkan pandangan, bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia yang berada di berbagai Taman makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Alasan Belanda waktu itu untuk melancarkan “aksi polisional” adalah untuk memulihkan kembali “law and order” serta membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.

Belanda telah kehilangan hak sejarah atas jajahannya
Perang dunia kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3 September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.

Di Asia Timur, agresi militer Jepang dimulai dengan melancarkan serangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Peral Harbor pada 7 Desember 1941. Di Asia Tenggara, Jepang melancarkan agresinya dengan menyerang negara-negara di Asia tenggara, yang waktu itu –kecuali Thailand- berada di bawah penjajahan negara-negara Eropa. Satu persatu negara-negara jajahan Eropa jatuh ke tangan Jepang.

Amerika, Inggris, Belanda dan Australia membentuk komando pasukan gaungan yang dinamakan ACDACOM – American, British, Dutch, Australian Command, di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell. Admiral Karel Doorman ditunjuk sebagai Tactical Commander untuk memimpin armada sekutu..

Dalam pertempuran sengit di laut Jawa pada 27 Februari 1942, armada sekutu dimusnahkan oleh Jepang dalam waktu satu hari, yang dikenal sebagai ‘The Battle of Java Sea.” Admiral Karel Doorman tewas bersama kapal perang utama sekutu (Falgship) yang tenggelam dalam pertempuran tersebut.

Setelah menghancurkan pertahanan laut sekutu, pada 1 Maret 1942 Jepang mendaratkan tentaranya di Pulau Jawa. Pendaratan dilakukan serentak di tiga titik, yaitu di Banten, Eretan Wetan dan Kranggan.

Hanya dalam waktu satu minggu, tentara sekutu disapu bersih oleh balatentara Dai Nippon. Pada 8 Maret 1942, Letjen Imamura, Panglima Tentara 16 Jepang memberikan utimatum kepada tentara sekutu untuk segera menyerah, dan kalau tidak mau menyerah, maka tentara sekutu akan dimusnahkan oleh tentara Jepang.

Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda.

Sehubungan dengan hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut :

“ …Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setlah diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa maslah Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral.
Pendirian Belanda yang hanya berpegang kepada legalitas secara dogmatik akan selalu menghambat tercapainya suatu persetujuan. Berhubung pendiriannya yang demikian itulah Republik dianggapnya sesuatu yang illegal, dan bahwa kedaulatan di seluruh daerah Indonesia berada di tangannya.
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.
Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggung-jawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri.
Demikianlah maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahankannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang.
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris.
Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.
Tidak ada seorang pun orang yang jujur dapat menutup-nutupi fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia telah membayar dengan harga mahal sekali berupa beribu-ribu puteranya menjadi korban dalam usahanya merebut senjata dari jepang untuk memungkinkan Indonesia mencapai kemerdekaannya yang diproklamasikannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kami tidak menerima kemerdekaan itu dari tangan orang Belanda, kami menebusnya dengan darah.
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan.

Persetujuan yang sah yang tidak mengandung keadilan dan yang terlepas dari kenyataan sejarah yang baru berlalu, tidaklah bisa disebutkan sesuai dengan kewajaran jalannya sejarah.
Pada waktu ini Pemerintah Belanda dan wakilnya di Dewan Keamanan sedang berusaha hendak membenarkan aksi militernya yang baru-baru ini dilancarkannya, aksi militernya yang tidak dapat disangkal lagi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB dan Persetujuan Renville, dengan alasan apa yang disebutnya pertanggunganjawabnya terhadap Indonesia.
Apa-apa yang telah ditunjukkan oleh sejarah kepada kami masih segar dalam ingatan kami.
Soal yang penting ialah, apakah Belanda betul-betul sanggup mempertahankan Indonesia terhadap serangan negara asing tanpa bantuan bangsa Indonesia? Adalah satu tekadnya sejak awalnya, bahwa bangsa Indonesia tidak akan membantu kolonialisme Belanda. Oleh karena itu bahaya serangan negara asing akan bertambah jika kolonialisme Belanda terus merajalela di Indonesia. Kolonialisme itu menghambat perkembangan rasa kebangsaan, yang merupakan faktor penting bagi pertahanan negara ini.
Semua ini adalah menjadi bukti bahwa masalah Indonesia bukanlah soal dalam negeri antara Pemerintah Belanda dengan bangsa Indonesia, tetapi merupakan suatu masalah internasional. Masalah Indonesia ada hubungannya dengan perdamaian dunia. Soalnya juga menyangkut prinsip-prinsip PBB, dan oleh karena itu Dewan Keamanan pada tempatnya turut campur menyelesaikannya. Dalam sidang-sidangnya Republik mempunyai kedudukan sebagai "fihak yang bersangkutan dalam pertikaian", tidak kurang dari kedudukan Belanda. Hal ini bagaikan duri dalam daging bagi Belanda, tetapi tidak akan dapat dikesampingkannya. Belanda juga tidak bisa mengenyampingkan Republik sebagai suatu kenyataan. Semakin lama Republik berdiri, semakin nyata keadaannya, yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Belanda.
Jika Belanda ingin menghapuskan Republik tanpa mempengaruhi politik dunia, mereka harus berbuat demikian pada tahun 1945. Kenyataanya, bangsa Belanda memang ingin berbuat begitu waktu itu. Tetapi tidak dapat dibantah lagi, bahwa pada waktu itu Belanda tidak mempunyai kekuatan militer yang dapat digerakkannya terhadap Republik. Hanya setelah dibantu oleh tentara Inggeris dan mendapat bantuan keuangan serta materiil dari Amerika barulah bangsa Belanda dapat menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia.

Republik sudah berdiri 3 tahun
Republik sampai sekarang sudah berdiri tiga tahun lebih dan karena itu tidaklah gampang menghapuskannya, seperti diinginkan Belanda.
Selama tiga tahun itu Republik telah mengadakan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan dengan Dewan Keamanan serta telah mendapat sahabat di antara negara-negara itu.
Republik telah memerintahkan daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan mempunyai syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap negara merdeka dan berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan polisi kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri.
Rakyat Republik merasa dalam hatinya, bahwa mereka adalah warga suatu negara yang berdaulat dan demokratis dan sebagai penduduk suatu negara yang demokratis mereka mempunyai sepenuhnya semua hak: kebebasan bergerak, hak berkumpul, hak menyatakan pikiran, hak berbicara, dan kebebasan pers, juga bebas untuk memilih agamanya sendiri. Semua kenyataan ini tidak dapat dihapuskan begitu saja atanpa menimbulkan reaksi yang sangat hebat...”


Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Jepang menyerah kepada sekutu
Setelah berhasil mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, tentara Jepang telah menguasai seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara Eropa.

Selama perang masih berkecamuk di Eropa dan Afrika, kekuatan tentara sekutu terpecah, sehingga tidak bisa mengerahkan kekuatan penuh untuk menghadapi Jepang di Asia. Namun setelah Jerman ditundukkan pada bulan Mei 1945, sekutu dapat mengalihkan kekuatannya ke Asia untuk mengalahkan Jepang.

Pada 6 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9 Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota Jepang. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Negara-negara yang diduduki oleh Jepang, termasuk Indonesia.

Landasan hukum internasional
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada 18 Agustus mengangkat Sukarno sebagai Presiden dan M. hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.

Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/montevideo-convention-convention-on.html)
Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:

ARTICLE 1
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.


Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.

ARTICLE 3
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.


Pada tahun 1946, Liga arab, Mesir dan kemudian –setelah merdeka dari Inggris, disusul oleh India memberikan pengakuan terhadap kemerdekaar republik Indonesia. Dengan demikian keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.

Landasan Moral dan Politis
Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, keinginan ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut (Teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/woodrow-wilsons-14-points-program-of.html):
A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.”

Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945.

Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan seruan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan (teks lengkap lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/atlantic-charter.html):

“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”

Butir tiga ini dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of peoples …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).

Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya: (teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/united-nations-charter-1945.html)

“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”

Dengan demikian jelas adanya, bahwa dipandang dari berbagai segi, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi politis, moral dan HAM. Yang dinyatakan oleh pemerintah Belanda sebagai “aksi polisional 1 (21 Juli 1947, yang merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati) dan 2 (19 Desember 1948, yang merupakan pelanggaran persetujuan Renville)”, jelas adalah agresi militer terhadap suatu Negara merdeka dan berdaulat. Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005, Ben Bot menyatakan bahwa (Teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/speech-by-minister-bot-on-60th.html):
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality …”
Ben Bot di sini menyebutkan “military forces”, dan bukan “police forces.” Jadi apabila dsimak kalimat ini, maka Ben Bot secara langsung mengatakan aksi tersebut adalah pengerahan militer secara besar-besaran (large scale deployment of military forces) dan bukan aksi polisi.

Maddiun Affairs 1948

adiun Affairs, 19 September 1948

PengantarPenulisan sejarah adalah suatu proses tanpa akhir (never ending process), karena apabila ditemukan bukti atau dokumen baru, maka harus dilakukan revisi terhadap sesuatu penulisan. Hal ini berlaku untuk semua penulisan mengenai sejarah di Indonesia, termasuk peristiwa Madiun dan peristiwa-peristiwa lain.
Penulisan sesuatu kejadian atau peristiwa tidak terlepas dari sosok penulisnya. Susah untuk menyatakan, bahwa sesuatu penulisan itu 100% obyektif, karena hal ini bukan hanya tergantung dari sumber yang diperolehnya, melainkan juga tergantung dari sudut pandang si penulis. Juga yang sangat penting adalah kesimpulan berdasarkan fakta dan data yang tersedia.
Misalnya mengenai yang dinamakan “Serangan Umum 1 Maret 1949”, walaupun sudah ada bukti-bukti dan dokumen yang baru ditunjukkan, tetap saja ada 3 versi mengenai peristiwa tersebut.
Peristiwa Madiun, dahulu tidak pernah disebutkan sebagai Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan dikenal sebagai Madiun Affairs, juga di berbagai penulisan sebelum tahun 1965.
Salah satu sumber referensi saya yang sangat penting adalah almarhum ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (10.3.1910 – 29.4.2002). Catatan dr. W. Hutagalung diberikan kepada saya pada bulan Agustus 1979, ketika mengunjungi saya di Hamburg, Jerman.
Sebelum Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI, dr. W. Hutagalung berpangkat Kolonel. Dalam pertempuran 28-29 Oktober 1945 di Surabaya Hutagalung memimpin pasukan yang mengepung tentara Inggris di daerah Darmo, dan menerima Kapten Flower (berkewarganegaraan Australia) yang membawa BENDERA PUTIH. Salah seorang ajudan Hutagalung di Surabaya adalah Wijoyo Suyono, yang kemudian menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal bintang empat. Sebelum agresi milter Belanda ke II selain bertugas di Kementerian Pertahanan di Yogya, juga sebagai seorang dokter spesialis paru, dr. W. Hutagalung ikut merawat Panglima Besar (Pangsar) Sudirman yang menderita penyakit paru. Bulan September 1948 dr. W. Hutagalung diangkat menjadi perwira teritorial yang ditugaskan membangun jaringan gerilya di Jawa Tengah dalam persiapan menghadapi agresi militer Belanda ke II. Selama agresi militer II, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima divisi II dan III dengan Pangsar Sudirman. Markas Hutagalung di lereng Gunung Sumbing bersama Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Dr. W. Hutagalung pada waktu itu juga adalah atasan Letkol Suharto, komandan Wehrkreis 10. Setelah berakhirnya agresi militer II, dr. W. Hutagalung diangkat menjadi Kepala Staf Q (Kwartiermeestergeneraal Staf “Q”) dan memimpin delegasi TNI dalam perundingan serah-terima perlengkapan KNIL kepada TNI Januari 1950 di Bandung. Pihak Belanda diwakili oleh Kepala Staf tentara Belanda Mayor Jenderal van Langen. Wakil Hutagalung dalam perundingan tersebut adalah Kolonel GPH Jatikusumo [hal ini dituturkan oleh alm. Kol. TNI.(Purn). Alex E. Kawilarang pada 9 November 1999 di Gedung Joang 31. Menurut beliau, pada waktu itu kepangkatan tidak memegang peran penting, yang menentukan adalah jabatan yang dipegang oleh seseorang].
Akhir tahun 1949 sampai awal tahun 1950, dr. W. Hutagalung bersama keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar Sudirman di (nama dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta, dan ikut dalam tim dokter yang merawat Jenderal Sudirman hingga beliau meninggal akhir Januari 1950.
Dr. W. Hutagalung hadir hampir dalam setiap perundingan penting yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman, baik sebelum agresi militer II, dan setelah agresi militer II selesai. Hutagalung selalu hadir bersama Jenderal Sudirman, karena selain sebagai Kepala Staf “Q”, juga sebagai satu-satunya perwira yang juga adalah dokter yang ikut merawat Pangsar, yang penyakit parunya semakin parah akibat berbulan-bulan kurang dirawat selama perang gerilya.
Hutagalung juga hadir dalam pertemuan pada 2 Agustus 1949 sore hari di rumah Pangsar di Jl. Widoro No. 10. Hadir antara lain Kolonel Nasution, Kolonel Hidayat, Kolonel Simatupang, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel GPH Jatikusumo dan Letkol dr. W. Hutagalung. Dalam pertemuan itu, Jenderal Sudirman meminta pendapat para perwira tersebut mengenai persyaratan gencatan senjata yang telah disetujui oleh pimpinan sipil RI, tanpa melibatkan unsur pimpinan militer. Walau pun sebagian besar perwira Angkatan Perang sangat kecewa atas tindakan pimpinan sipil yang pada fase terakhir perjuangan kelihatannya ingin jalan sendiri dan mengabaikan peran TNI dan juga PDRI, namun semua sepakat, bahwa pada saat itu perlu dihindari perpecahan, apalagi antara pimpinan militer dengan pimpinan Pemerintah Republik.
Akhirnya Panglima Besar menerima pendapat tersebut dan mengirim utusan ke Istana, guna menyampaikan kepada Presiden Sukarno, bahwa Angkatan Perang Republik Indonesia menyetujui gencatan senjata yang sebelumnya telah disetujui oleh pimpinan sipil RI, dan agar Presiden Sukarno mengumumkan hal itu.
Sebenarnya, Pangsar telah menulis surat tertanggal 1 Agustus 1949 mengenai pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar TNI, dan bahkan dari dinas aktif TNI. Pangsar menerima pendapat para perwira TNI yang hadir, sehingga surat yang telah ditandatangani tersebut tidak jadi dikirim ke Presiden Sukarno.
Letkol TNI Dr. W. Hutagalung bersama seluruh staf dan ajudannya keluar dari dinas ketentaraan pada bulan Maret 1950, sebagai protes terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, yaitu:
Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS),
Diterimanya mantan tentara KNIL ke tubuh TNI.
Setelah Jenderal Sudirman meninggal akhir Januari 1950, pangkat tertinggi di TNI adalah Kolonel, baik itu Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang, maupun Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution dan sejumlah Panglima Divisi dengan pangkat Kolonel juga.
Ketika mengurus Bintang Gerilya tahun 1994, yang menandatangan sebagai saksi untuk permohonan memperoleh Bintang Gerilya adalah Jenderal Besar TNI (Purn.) Suharto, Presiden RI, dan Jenderal TNI (Purn.) Surono, mantan KSAD, yang juga pernah menjadi bawahan Hutagalung ketika bertugas di Yogyakarta. Dalam waktu 11 hari surat keputusan mengenai pemberian Bintang Gerilya kepada Hutagalung telah ditandatangani oleh Presiden Suharto. Pada 4 November 1994, dalam kunjungan Hutagalung ke Presiden Suharto di Jl. Cendana No. 8, Presiden Suharto telah menyampaikan, akan menandatangani dua kali, sekali sebagai saksi, dan sekali sebagai Presiden. Dr. W. Hutagalung meninggal pada 29 April 2002, di usia 92 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata.
Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi dalam upaya mencari kebenaran dan meluruskan penulisan sejarah Indonesia, yang telah banyak diputar-balikkan.

Perang dingin (cold war) dimulaiKonflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948, pada waktu itu dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena PKI tidak pernah dibubarkan, dan bahkan pada Pemilihan Umum pertama di RI tahun 1954, PKI menjadi partai terkuat ke 4. Baru di zaman Orde Baru peristiwa tersebut dinamakan pemberontakan PKI.
Untuk memahami latar belakang terjadinya tragedi nasional pertama ini, harus dilihat situasi dunia pada waktu itu.
Setelah usai Perang Dunia II, dua negara yang menjadi super power, Amerika Serikat dan Uni Sovyet, membangun kubu masing-masing. Dengan pengalaman PD II, di mana sekitar 20 juta warganya tewas, Uni Sovyet tidak ingin lagi diserang secara mendadak dan berdasarkan hasil keputusan Konferensi Yalta, Februari 1945 yang membelah Eropa menjadi dua blok, Uni sovyet membuat negara-negara tetangga yang di bawah pengaruhnya, menjadi tameng. Satu persatu negara tetangganya dikuasai oleh partai komunis di negara masing-masing, yaitu Polandia, Hongaria, Rumania, Bulgaria dan terakhir Cekoslovakia (kini pecah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia). Sempurna sudah pagar negara yang dibangun Uni Sovyet di Eropa. Tiongkok yang kemudian jatuh ke tangan komunis, juga merupakan tameng Uni Sovyet di bagian timur.
Di lain pihak, Amerika Serikat yang takut akan bahaya komunis, juga tidak tinggal diam dalam upaya membendung penyebaran komunisme ke seluruh dunia. Tahun 1947, pendukung komunis di Yunani dan Turki semakin kuat, sehingga sangat mengkhawatirkan Inggris dan Amerika. Dalam rapat antara pejabat Departemen Luar Negeri dengan para anggota Kongres, Wakil Menteri Luar Negeri, Dean Acheson, menyampaikan, bahwa apabila Yunani dan Turki jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menjalar ke Iran dan bahkan sampai ke India. Di sinilah munculnya domino theory (teori domino). Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan terancam jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Pada 12 Maret 1947, Presiden Harry S. Truman meminta persetujuan Kongres untuk memberikan dana kepada Yunani dan Turki sebesar 400 juta Dollar, guna menghancurkan komunis di kedua negara tersebut. Truman menyampaikan doktrinnya, yang kemudian dikenal sebagai The Truman Doctrin (Doktrin Truman), yang menjadi pedoman politik luar negeri AS untuk 40 tahun berikutnya. Inti doktrin ini adalah policy of containment ( containment = pembendungan) atau mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme di manapun di seluruh dunia.
Pada bulan Juni 1947, AS menyusun Marshall Plan yang dirancang oleh Menteri Luar Negeri AS, George Marshall, sebagai bagian dari kebijakan untuk membendung upaya Uni Sovyet dalam mempengaruhi negara-negara Eropa yang sedang dalam kesulitan finansial. Kongres AS menyetujui dana sebesar 12 milyar Dollar untuk program Mashall Plan, di mana dalam kenyataannya hanya dikucurkan kepada negara-negara Eropa Barat dan Yugoslavia, yang tidak ikut menjadi anggota Pakta Warsawa (kubu Uni Sovyet). Sedangkan negara-negara Eropa Timur lainnya yang berada di bawah kekuasaan Uni Sovyet tidak memperoleh, bahkan menolak dana dari Marshall Plan.
Perang Dingin (cold war) telah dimulai, dan makin memanas ketika Uni Sovyet melakukan blokade atas Berlin Barat, yang berada di bawah pengawasan AS. Marshall Plan kemudian tidak terbatas kepada negara-negara Eropa, namun di seluruh dunia. AS memberikan dana kepada negara-negara yang menyatakan kesediaannya akan membasmi komunisme, termasuk kepada Pemerintah Indonesia.
Pada bulan Maret 1948, AS. Inggris, Prancis, Belgia, Luxemburg dan Belanda membentuk organisasi yang menjadi cikalbakal pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang disahkan pada 4 April 1949. Tujuannya bukanlah untuk mempertahankan demokrasi atau free world (dunia yang merdeka) seperti yang digembar-gemborkan AS, melainkan hanya untuk menghadang ide komunisme, yang sangat menghantui para kapitalis, karena pada waktu itu, hampir semua negara-negara Eropa tersebut masih memiliki jajahan di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Inggris, Perancis, Belanda dan Belgia, yang tidak mau memberikan kemerdekaan kepada jajahan mereka. Bahkan Belanda dan Perancis dengan kekuatan militer yang besar, berusaha untuk menjajah kembali Indonesia dan Vietnam, yang telah menyatakan kemerdekaannya.
Di AS sendiri, warga kulit hitam hingga tahun 1968 belum memperoleh hak demokratisnya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Pada 4 April 1968, Martin Luther King Jr, tokoh kulit hitam AS yang sedang memperjuangkan hak politik dan demokrasi di AS, mati ditembak oleh kelompok rasis kulit putih AS.
Pada 18 September 1947 di AS, selain diresmikannya National Security Council (Dewan Keamanan Nasional) juga diresmikan berdirinya Central Intelligence Agency –CIA (Badan Pusat Intelijen), sebagai pengganti CIG (Central Intelligence Group). Founding fathers dari CIA adalah William "Wild Bill" Donovan dan Allen Dulles, kedua orang ultra konservatif tersebut beragama Katolik Roma dan anggota dari perkumpulan rahasia "Knights of Malta" (Ksatria Malta). CIA melakukan infiltrasi, subversi, bahkan pembunuhan dan melancarkan perang gerilya di negara-negara yang terindikasi tidak mendukung AS (Lihat: The CIA- The Police State dalam http://www.ezpz.co.za/cia.htm). Peranan perempuan dalam dinas rahasia AS sangat menonjol. Sebelum CIG, pada tahun 1942 Presiden Roosevelt mendirikan Office of Strategic Service, di mana terdapat 4.500 agen rahasia perempuan (National Women’s History Museum Exhibition on Woman Spies Opens Today, "Clandestine Women: The Untold Stories of Women in Espionage". Documents Women's History in the Undercover World, dalam http://www.nmwh.org/news/pressmarch25.htm).
Sepak terjang CIA dilakukan di berbagai belahan dunia, termasuk terlibat dalam penggulingan kepala negara atau kepala pemerintahan yang tidak mau tunduk kepada AS, seperti Perdana Menteri Mosadegh di Persia, Perdana Menteri Ngo Dinh Diem di Vietnam Selatan, Perdana Menteri Patrice Lumumba di Kongo, Presiden Salvador Allende (mati tertembak dalam kudeta yang disponsori oleh CIA) di Chile dan Presiden Sukarno di Indonesia. Langkah CIA bahkan sampai kepada pembunuhan kepala negara seperti Presiden Ecuador Jaime Roldos dan Presiden Panama Omar Torrijos (lihat: John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berret-Kohler Publishers, Inc. San Francisco 2004).
Perang dingin antara AS dan Uni Sovyet menjalar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia, di mana kedua super power bersama sekutu mereka, berusaha menarik para pemimpin Republik Indonesia ke pihak masing-masing, yang memuncak pada Madiun Affairs (peristiwa Madiun), September 1948.
Semula, AS menghindari kritik terhadap Belanda karena AS percaya, bahwa Eropa Barat harus dibangun dengan segala cara, dan apabila Eropa kehilangan jajahan mereka yang kaya, maka ini akan memperkecil kemampuan negara-negara Eropa untuk memulihkan diri. Di Belanda muncul istilah Indië verloren, rampspoed geboren (India hilang, timbul malapetaka. Sebutan Belanda untuk Indonesia adalah Indië, yaitu India). Tahun 1938, kekayaan yang dikuras dari Indonesia mencapai 16% dari pendapatan nasional Belanda. Bahkan antara 1851 – 1860, sumbangan dari Nusantara untuk pendapatan nasional Belanda mencapai sekitar 35% !
Padangan Pemerintah AS ini berdasarkan analisis CIA pada bulan September 1947. Ancaman terbesar bagi keamanan AS adalah kemungkinan runtuhnya perekonomian Eropa Barat dan akibatnya adalah makin kuatnya pengaruh komunis (McMahon, Robert J., Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence. London: Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic Relations in Indonesia, Lihat http://courreges.freeservers.com/indonesia.htm).
Perhatian AS lebih ditujukan kepada kesejahteraan Belanda, sekutunya sejak Perang Dunia II, sehingga perhatian terhadap tuntutan Republik Indonesia sangat terbatas. Namun setelah terlihat, bahwa Belanda tidak dapat menguasai Indonesia kembali, dan kuatir Indonesia yang merdeka akan masuk ke kubu Uni sovyet, AS merubah politiknya terhadap Indonesia. Dinas rahasia militer AS pada 23 Desember 1947 menyatakan, bahwa AS akan kehilangan muka di seluruh Timur Jauh apabila tidak mendukung gerakan-gerakan kemerdekaan yang merupakan hak mereka:
“…the US might lose prestige throughout the Far East, if we do not adequately support legitimate independence movements. The US State Department has further considered that a settlement with the present moderate Republican leaders would preclude Communist domination of the independence movement …”
Dana dari Marshall Plan untuk Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Suharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis 10), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Beberapa perwira TNI pendukung Pemerintah RI dan juga Ketua Mahkamah Agung Suryo (mantan Gubernur Jawa Timur) dibunuh, demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS dan gagasannya yaitu “Domino Theory”.

Red Drive Proposal. Konflik bersenjata internal RI yang pertama.
Pada bulan Maret 1948, sebelum kembali ke Amerika, Graham bertemu dengan Sukarno untuk membicarakan kemungkinan bantuan AS kepada Republik Indonesia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Sukarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Rum (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB).
Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui "Red Drive Proposal" (proposal pembasmian kelompok merah) yang disampaikan oleh Amerika.
Sebagai “imbalan” kesediaan Pemerintah Indonesia untuk membasmi komunisme di Indonesia, maka Indonesia pun mendapat kucuran dana sebesar 60 juta US $, yaitu bantuan untuk kepolisian RI. Namun ditekankan, bahwa bantuan tersebut tidak boleh dipergunakan untuk melawan Belanda.
Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA (lihat: Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal. Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis, 18 September 1997).
Kemudian disusunlah suatu skenario untuk memojokkan kelompok kiri, untuk mencari alasan penumpasan komunisme di Indonesia.
Diisukan, bahwa Sumarsono tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Pada 19 September 1948, Presiden Sukarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso atau Sukarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
Maka muncullah tudingan adanya “provokasi” dari Pemerintah Republik, karena keputusan yang telah diambil pimpinan Republik dengan wakil-wakil AS (lihat: T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82).
Sumarsono membantah tuduhan, bahwa pada 18 September 1948 dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND), dan telah terjadi pemberontakan PKI. Justru kebalikannya, bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat. Sumarsono yang kini menetap di Sidney, Australia, mengungkap hal tersebut kepada Radio Nederland dalam kunjungannya ke Belanda bulan Oktober 2002. Dia juga menyatakan, bahwa Suharto sebenarnya sangat mengetahui hal ini, namun mendiamkannya. Berikut adalah wawancara Radio Nederland dengan Sumarsono (lihat: Kolom Ibrahim Isa dalam milis Nasional):

Sumarsono: “Jadi setelah Bung Karno pidato, pidatonya itu menusuk hati Musso itu, lalu spontan dijawab sama Musso itu, ‘Ya, keadaannya jadi lain. Sebab pidatonya menggambarkan bahwa kita ini mesti dibasmi. Jadi karena itu,kita memikirkan bagaimana kita bela diri’ Jadi kami membentuk pemerintah Front Nasional Daerah. Saya dipilih sebagai gubernur militer. Lalu mulailah ada perlawanan pemerintah daerah Front Nasional Madiun terhadap usaha pemerintah pusat yang mengatakan kita melakukan pemberontakan dan mesti dibasmi.
Nah, dalam keadaan kayak begitu, Panglima besar Sudirman menyuruh Letkol Suharto, komandan resimen di Yogyakarta untuk meninjau Madiun. Dia telpon. Saya kebetulan yang menerima.
Dia bilang: ‘Ini mas, saya diutus oleh Pak Dirman untuk menjumpai mas Sumarsono.’
Oh, welcome, saya juga senang karena ini utusan Pak Sudirman supaya menyaksikan keadaan ini. Bahwa kami tidak berontak. Kami membela diri. Nah, datanglah yang namanya Letkol Suharto itu di Madiun. Sudah agak malam.
Radio Nederland [RN]: Sendiri?
Sumarsono: Sama sopirnya. Lalu saya bilang, saya senang ini dik Harto datang ke mari diutus Pak Sudirman. Tapi ini sudah malam dik Harto. Bagaimana kalau besok pagi dik Harto sama saya keliling kota, melihat keadaan di kota, bahwa kami nggak ada pemberontakan apa-apa. Dan apa yang disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta, karena itu Overste Suharto mengemukakan, ‘o surat-surat kabar di Yogyakarta ini mengatakan bendera merah-putih diturunkan, bendera palu arit Sovyet dinaikkan, pembunuhan, penangkapan massal, orang-orang baru dimasuk ke dalam penjara.’ Begitu di koran-koran. Besok kita saksikan. Nggak ada gitu dik Harto, nggak ada. Dan bagaimana dik Harto membantu kami? Kan nggak bagus ini, kita sedang hadapi Belanda, kok sekarang kita ini bertempur sendiri?”
RN: “Lalu apa tanggapan dik Harto ini?”
Sumarsono: “Waktu itu dia nanggapi dengan baik dan besok pagi bersama dengan dia kami keliling kota. Menyaksikan apa yang ditulis surat-surat kabar di Yogyakarta itu, itu nggak benar. Lalu saya ajak masuk penjara, lihat apa ada daftar orang baru yang ditangkap.”
Lalu sesudah itu saya minta sama dia: ‘dik Harto, tolong dik Harto ini nanti nyampaikan surat kami kepada Presiden Soekarno. Lalu tolong deh bikin pernyataan dik Harto supaya itu jangan sampai ada tanggapan itu seperti disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta.’ Dia berkata, ‘Baik, baik mas, tapi mas aja bikin pernyataan itu, nanti saya teken, saya tanggung jawab’.
RN: “Bapak bikin?”
Sumarsono: “Saya bikin. Bahwa keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana disiar-siarkan oleh surat-surat kabar di Yogyakarta. Tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera merah-palu arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal. Teken: Letkol Suharto. Dan pernyataan itu disiarkan oleh surat kabar daerah, radio Madiun. Nah, waktu dia mau pulang ke Yogya ini, dia bawa surat yang ditulis oleh Amir Syarifuddin untuk Bung Karno, supaya Bung Karno bisa turun tangan dan menyelesaikan secara baik. Karena kita masih butuh bersatu untuk melawan Belanda. Tapi kita dengar belakangan bahwa Suharto ini di Sragen ditahan oleh Siliwangi. Katanya surat itu tidak sampai kepada Presiden.”
RN: “Bagaimana dengan laporannya kepada Jenderal Sudirman?
Sumarsono: “Itu kami nggak tahu. Yang kami dengar, dia ditahan oleh Siliwangi. Tapi sebentar, terus dilepas lagi, kembali ke Yogya juga. Surat Amir itu nggak tahu ke mana.”
RN: “Tapi kemudian sejak Suharto menjadi Presiden, dia membisu tentang peristiwa Madiun?”
Sumarsono: “Tapi dia tulis juga di otobiografinya bahwa waktu peristiwa Madiun itu, dia ada di Madiun. Dia sebut ketemu sama Musso.”

Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk membantu menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung kepada kaum imperialis AS. Hal ini diungkapkan oleh dr. W. Hutagalung, yang juga pernah dibujuk oleh Amir Syarifuddin untuk ikut bergabung dengan gerakan mereka. Hutagalung menuturkan pembicaraannya dengan Amir Syarifuddin, antara dua putra Batak di Yogyakarta, yang telah saling kenal sejak di Surabaya awal tahun 40-an:
“ …Pada suatu hari, sekitar pertengahan tahun 1948, kami bertemu dan Amir Syarifuddin menceriterakan mengenai rencana gerakan mereka, kekuatan pendukungnya serta rencana pengembangan pasukan pendukungnya. Dia tentu, mengetahui peran penulis dalam pertempuran di Surabaya Oktober/November 1945 dan selama perang gerilya di Jawa Timur.
Kemudian dia mengatakan: “Bung Willy, pimpinlah pasukan kami. Saya angkat saudara menjadi Mayor Jenderal.”
Saya menjawab: “Bung Amir, kau dibohongi orang-orangmu. Pasukanmu tidak begitu kuat dan tidak betul berpengalaman. Juga tidak betul senjatanya begitu banyak. Saya mengetahui dengan jelas jumlah pasukan beserta persenjataannya dan saya dari permulaan di daerah pertempuran di Jawa Timur. Saya tidak pernah melihat pasukan yang Bung Amir sebutkan. Di rumah sakit selalu didaftar mengenai korban, dari pasukan atau laskar mana, di mana kejadiannya, luka-lukanya karena apa. Tidak pernah saya lihat di daftar-daftar rumah sakit catatan pasukan-pasukan yang Bung Amir maksud. Untuk membangun pasukan yang Bung Amir rencanakan untuk merebut kekuasaan, perlu dana yang sangat besar. Selain itu saya tidak tertarik dengan pangkat Mayor Jenderal.” (Pada waktu itu, dr. W. Hutagalung berpangkat Kolonel. Pangkat Brigadir Jenderal belum dikenal di TNI waktu itu yang masih mengikuti sistem kepangkatan tentara Belanda, sehingga pangkat setelah Kolonel adalah Mayor Jenderal).
Saya juga mengemukakan, bahwa pergerakan sebesar itu memerlukan dana yang sangat besar, namun Amir Syarifuddin menjelaskan, bahwa ‘teman-temannya’ akan membantu menyediakan dana yang dia butuhkan. Saya ingat, bahwa Amir pernah menyatakan telah menerima uang dari Idenburg untuk membangun jaringan bawah tanah melawan tentara Jepang, dan saya duga, yang dimaksud dengan temannya itu adalah Idenburg. Bagi saya jelas, bahwa Belanda juga berada di balik gerakan Musso-Amir Syarifuddin…”

Demikian penuturan dr. W. Hutagalung.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Amir Syarifuddin mengakui telah menerima uang sebesar 25.000 gulden dari Dr. Idenburg untuk melakukan gerakan bawah tanah melawan Jepang. Namun sejumlah kalangan menyebutkan, bahwa melihat besarnya dana yang dikeluarkan oleh Syarifuddin, dana yang diberikan lebih dari itu, diperkirakan sebesar 50.000 gulden. Bagi Belanda, dan beberapa negara Eropa Barat, untuk melawan negara fasis seperti Jepang dan Jerman, termasuk orang-orang yang dipandang sebagai kolaborator fasis Jepang seperti Sukarno-Hatta, segala cara ditempuh, termasuk kerjasama dengan pihak sosialis dan komunis, dalam hal ini dengan Partai Komunis Indonesia dan kelompok kiri lainnya.
Ini bukanlah pertama kalinya satu negara kapitalis membantu kelompok komunis untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang menjadi lawannya. Hal ini dilakukan oleh Kaisar Wilhelm II dari Jerman, yaitu ketika membantu Lenin pada tahun 1917 untuk mengadakan revolusi di Rusia, yang waktu itu sedang berperang melawan Jerman dalam Perang Dunia I. Dengan harapan melalui revolusi Bolsyewik di Rusia, kekuatan Rusia akan melemah, pada 16 April 1917 pihak Jerman membantu Lenin kembali dari exilnya di Swiss dengan kereta api khusus menuju Swedia, kemudian melalui Finlandia dan sampai di Rusia.
Selama Perang Dunia II di Eropa, banyak pemuda Indonesia beraliran kiri, bertempur di pihak Belanda melawan fasisme Jerman.
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948 (Pengangkatan diumumkan melalui radio, sedangkan surat pengangkatan resmi baru diterima kemudian), serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Yasin menggambarkan peristiwa tersebut seperti situasi di Jerman, yaitu ketika pasukan Amerika Serikat dan pasukan Rusia bertemu di kota Berlin pada tahun 1945 [Wawancara dengan Komjen POL (Purn.) DR. M. Yasin, bulan Desember 1998]. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Catatan akhir:
Dr. W. Hutagalung menuturkan, bahwa ketika Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di Asia kelompok kiri Indonesia menjadi sekutu Belanda melawan fasisme Jerman dan Jepang. Namun setelah Perang Dunia (PD) II usai, berkembangnya pengaruh kelompok kiri di Indonesia yang juga mendukung kemerdekaan RI membuat Pemerintah Belanda kuatir. Ketika Amerika Serikat datang dengan gagasan pembasimian komunisme di seluruh Indonesia, termasuk di Indonesia, Belanda langsung menyetujuinya dan bahkan ikut berperan dengan bermuka dua, seolah-olah membantu kelompok kiri yang adalah mantan sekutunya selama PD II, dan juga kepada Pemerintah Indonesia menawarkan “bantuan” untuk membasmi komunisme.
Sejarah mencatat, bahwa di tengah-tengah konflik bersenjata internal RI yang pecah sejak 19 September 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948 dengan menyerbu Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu, dan menangkap seluruh pimpinan sipil RI.
Tokoh-tokoh kiri yang ditangkap, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, diekseksi pada 20 Desember 1948 atas perintah Kolonel Gatot Subroto, karena TNI tidak mau dibebani dengan tawanan di masa perang melawan agresi militer Belanda.
PKI sendiri tidak pernah dibubarkan oleh Pemerintah RI waktu itu, dan ironisnya, selama agresi militer Belanda II, banyak pengikut kelompok kiri juga ikut bertempur di pihak Republik Indonesia melawan Belanda, yang merupakan sekutunya selama PD II.
Hal ini juga menunjukkan, bahwa di dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hany kepentingan masing-masing, apakah kelompok, partai atau bahkan negara

Wejangan Leluhur Bangsa

Wejangan Leluhur Bangsa

Pengantar
Seorang teman lama saya, Kemal, yang mengetahui saya menjadi anggota beberapa milis, dan memiliki data base dari ribuan alamat email orang Indonesia, memohon saya untuk membantu menyebarluaskan tulisan, yang merupakan “Wejangan Leluhur Bangsa.”
Wejangan tersebut ditulis oleh kenalannya, Nelwa, yang menulis setelah melakukan meditasi yang dalam dan bahkan dapat dikategorikan sebagai suatu tapa. Dalam bahasa awam mungkin disebut sebagai suatu perenungan yang mendalam. Minggu lalu kami betiga bertemu, dan Nelwa membacakan tulisan tersebut secara lengkap untuk saya. Saya mendengarkan dengan sangat cermat. Setelah “Wejangan” tersebut selesai dibacakan, saya tertegun. Yang keluar dari mulut saya hanya satu kata: “Sempurna!”
Menurut pendapat saya, isi wejangan tersebut memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi bangsa Indonesia saat ini dan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya dari perpecahan dan kehancuran akibat kesalahanh bangsa ini sendiri.
Memang, tidak semua yang membaca wejangan ini akan segera sependapat, namun mohon direnungkan dengan tenang dan mendalam esensi dari pesan yang disampaikan, dan kemudian membandingkan sendiri dengan situasi serta kondisi yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Pendapat dan tanggapan mengenai wejangan ini mohon tidak ditujukan kepada saya pribadi, melainkan kepada kita semua, seluruh anak bangsa, untuk didiskusikan.
Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bukanlah masalah teknis, bukan masalah kekurangan ilmuwan, bukan masalah kekurangan dana. Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, baru ada segelintir manusia Indonesia yang memiliki gelar kesarjanaan. Itupun hanya di beberapa bidang, untuk menunjang kepentingan penjajah, dan bukan untuk pembangunan bangsa dan negara, apalagi untuk mencerdaskan rakyat Nusantara.. Kini bangsa Indonesia telah memiliki ratusan ribu sarjana, dan bahkan guru besar untuk segala bidang ilmu pengetahuan. Seharusnya, dana pembangunan juga mencukupi, dan tidak perlu mengemis-ngemis terus ke luar negeri untuk menambah utang, yang pada akhirnya sebagian besar masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat negara. Uang negara yang dikorupsi mencapai retusan trilyun rupiah. Adalah suatu kenyataan, bahwa perekonomian, dunia hukum, kehidupan sosial dan budaya negara ini ambur-adul. Indonesia memiliki telalu banyak poliTIKUS yang menggerogoti negara, dan belum tampak seorangpun yang dapat dikategorikan sebagai seorang negarawan.
Mohon inti wejangan di bawah ini direnungkan dahulu, sebelum memberi komentar, tanggapan atau pendapat. Komentar, tanggapan dan pendapat seluruh anak bangsa sangat diperlukan, agar kita dapat menemukan solusi atas permasalahan yang kita hadapi bersama.

KUKB DI Kandang Macan

KUKB di Kandang Macan

Dari tanggal 15 Desember hingga 19 Desember 2005, pimpinan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB, dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono MSc, Ketua Dewan Penasihat KUKB, berkunjung ke negeri kincir angin, dan mengadakan sejumlah pertemuan, baik dengan orang-orang Belanda, maupun dengan para pengurus KUKB di Belanda, pendukung dan simpatisan KUKB, serta dengan kalangan masyarakat Indonesia –termasuk para mahasiswa Indonesia di Belanda, guna menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan KUKB, yang suhubungan dengan menuntut Pemerintah Belanda untuk:
1. Mengakui kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945,
2. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan berbagai pelanggaran HAM berat, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945,
3. Memberikan kompensasi kepada para korban, janda dan ahli waris korban agresi militer Belanda.

Berikut ini kami sampaikan catatan perjalanan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) selama berada di Belanda, boleh dikatakan di “Kandang Macan.”
15 Desember 2005.
Pimpinan KUKB dengan pesawat KLM bernomor penerbangan KL 0810, mendarat di bandara Schiphol, Amsterdam pada 15 Desember 2005, pukul 05.25 waktu setempat.
Pertemuan pertama berlangsung di Den Haag pukul 14.00 dengan perwakilan KUKB di Belanda dan beberapa pendukung KUKB. Hadir dalam pertemuan adalah Jeffry Pondaag, yang pada bulan Mei 2005 telah diangkat oleh Batara R Hutagalung selaku pendiri dan Ketua KUKB, sebagai Representatif KUKB di Belanda, James Salam, Charles Surjandi, Louk Aznam. Juga hadir A. Supardi Adiwidjaya, koresponden Harian Rakyat Merdeka di Belanda.
Tepat pukul 16.00, di Gedung Parlemen Belanda di Den Haag seluruh rombongan KUKB (8 orang) diterima oleh Bert Koenders, juru bicara fraksi Partai Buruh (Partij van der Arbeid - PvdA) di Parlemen Belanda, dan Angelien Eisijnk, juga anggota Parlemen dari fraksi PvdA, yang duduk di komisi yang membidangi masalah Veteran Belanda secara keseluruhan, bukan saja veteran dari Perang Dunia II dan veteran yang berperang melawan TNI di Indonesia tahun 1945 – 1950.

Pertemuan yang di­rin­tis oleh Jeffry Pondaag (isterinya adalah orang Belanda totok, demikian juga neneknya) ini merupakan rangkaian pertemuan KUKB dengan anggota Parlemen Belanda guna menyampaikan tuntutan para korban pembantaian di Indonesia, agar permasalahan ini dibahas di Parlemen Belanda. Pada 29 September 2005, Jeffry Pondaag mewakili KUKB telah bertemu dengan dengan M.Haverkamp, juru bicara Fraksi partai Kristen CDA. Pada bulan Januari 2006, telah dijadwalkan pertemuan dengan wakil dari partai VVD (Partai Rakyat un­tuk De­mokrasi dan Kebebasan) dan kemudian akan diu­sahakan untuk bertemu ang­go­ta fraksi dari par­tai-partai lainnya di par­­­­lemen Belanda. Setelah itu, akan diusahakan juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Ben Bot, dan bahkan dengan Perdana Menteri Jan P. Balkenende.
Pertemuan yang semula dijadwalkan selama 45 menit sampai pukul 16.45, berlangsung dalam suasana yang sangat ramah dan terbuka hingga pukul 17.30. Bahkan wartawan TV Belanda yang sudah siap mewawancarai Bert Koenders dan dijadwalkan pada pukul 16.45 –karena mereka datang terlambat beberapa menit-diminta menunggu di luar hingga pertemuan dengan KUKB selesai.
Sesuai permintaan KUKB, pertemuan berlangsung di ruangan di mana tersedia fasilitas TV untuk menayangkan rekaman DVD. Diawali dengan penayangan rekaman video -yang dibuat oleh jurnalis Belanda- selama sekitar 10 menit mengenai peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan (Desember 1946 – Februari 1947) dan Rawagede (9 Desember 1947), di mana ditayangkan wawancara dengan beberapa korban, putra korban dan saksi hidup dari kedua tempat tersebut.
Setelah memperkenalkan diri masing-masing, KUKB me­nyam­paikan beberapa permasa­lah­­­an yang ada antara Republik Indo­nesia dan Belanda yang dalam pandangan KUKB belum disele­sai­­kan dan masih harus dicari solusi yang memuaskan kedua belah pihak. Terlebih dahulu digaris bawahi, bahwa tujuan dari kegiatan KUKB bukanlah untuk membalas dendam, melainkan sebaliknya, yaitu mewujudkan rekonsiliasi yang bermartabat antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda, namun dengan pola Truth and Reconciliation –Kebenaran dan Rekonsiliasi. Semua kejadian di masa lalu harus diungkap sejujurnya dan harus dicari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.. Batara Hutagalung menyampaikan, bahwa hal ini telah dikemukakannya kepada Duta Besar Belanda (waktu itu) Baron Schelto van Heemstra pada 3 April 2002, ketika pihaknya diundang oleh Duta Besar Belanda. Hutagalung menyatakan, surat yang berisi butir-butir usulan Komite yang disampaikan secara langsung ke tangan Baron van Heemstra seharusnya masih dapat ditemukan di arsip Kedutaan Belanda di Jakarta. Tujuan dan syarat rekonsiliasi ini juga dikemukakannya ketika diwawancarai oleh Marcel van de Hoef dari satu kantor Berita Belanda, dan juga kepada Piet de Blaauw dari NetwerkTV Belanda. Namun dinyatakan, apabila satu pihak yang melakukan kesalahan tidak mau mengakui kesalahannya, bagaimana akan diwujudkan suatu rekonsiliasi?
Hutagalung menyampaikan, bahwa pihaknya secara pribadi di Indonesia juga terlibat dalam kegiatan untuk mengupayakan terwujudnya suatu rekonsiliasi nasional. Ikut mendirikan dan aktif di LSM yang bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), yaitu LSM yang didirikan pada 23 Mei 2003 oleh generasi kedua dan ketiga dari mereka yang di masa lalu terlibat dalam berbagai konflik kekerasan di Indonesia, yaitu putra-putri beberapa Jenderal yang tewas dalam tragedi nasional tahun 1965, seperti Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Sutoyo dan Mayjen D.I. Pandjaitan, putra dari mantan Ketua Umum Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit, putra dari Imam Besar DI/TII S.M. Kartosuwiryo yang dieksekusi tahun 1962 dan beberapa putra/cucu dari mereka yang di Indonesia disebut sebagai pemberontak. Hutagalung juga menyatakan, dirinya termasuk yang menentang pemerintahan Presiden Suharto, namun sekarang tidak keberatan, apabila setelah mantan Presiden Suharto melalui proses pengadilan dijatuhi hukuman, demi alasan kemanusiaan kemudian diberi grasi dan dibebaskan, pihaknya secara pribadi tidak keberatan. Hutagalung juga menyerahkan brosur mengenai FSAB kepada Koenders.
KUKB menyampaikan, bahwa hingga kini Pemerintah Be­lan­da tetap tidak menga­kui ke­mer­dekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pemerintah Belanda tetap bersikukuh, bahwa pengakuan kedaulatan telah diberikan oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949, yaitu souvereinteitsoverdracht (pelimpahan kedaulatan) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagaimana dinyatakan oleh Menlu Belanda Ben Bot pada 16 Agustus 2005. KUKB menyatakan, bahwa RIS, negara yang diakui oleh Pemerintah Belanda sudah tidak eksis lagi, RIS sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan Pemerintah Belanda kini berhubungan dengan Republik Indonesia, yang kemerdekaannya adalah 17.8.1945. KUKB memberikan argumentasi, bahwa apabila dua negara akan menjalin hubungan diplomatik, sudah seharusnya kedua belah pihak saling menghormati dan mengakui kedaulatan masing-masing negara yang akan menjadi mitra diplomatiknya.
Oleh karena itu KUKB menyatakan, bahwa Pe­me­rintah Belanda harus me­­ngakui Kemerdekaan RI adalah 17 Agu­stus 1945, dan bukan 27 Desember 1949.
Batara Hutagalung menyampaikan, bahwa petisi pertama kali disampaikan kepada Pemerintah Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda ketika melakukan demonstrasi di Jakarta tanggal 20 Maret 2002, sehubungan dengan puncak acara perayaan besar-besaran 400 tahun berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), yang bagi bangsa Indonesia merupakan awal dari penjajahan, perbudakan, kesengsaraan dan bahkan kematian ratusan ribu pribumi. Oleh karena itu, apabila bangsa Belanda menyatakan dan merayakan zaman VOC sebagai zaman keemasan (de gouden Eeuw), jelas merupakan penghinaan bagi bangsa Indonesia.
KUKB juga menyampaikan, Pemerintah Belanda tetap tak mau minta maaf kepada bangsa In­donesia dan tidak pernah mem­per­hatikan nasib para korban agre­si militer Belanda, yang disebut oleh Belanda sebagai aksi polisional I dan II. Yang disampaikan oleh Menlu Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta hanyalah sebatas pernyataan penyesalan atas penderitaan yang dialami baik oleh orang Indonesia maupun oleh orang Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Puluhan ribu orang Belanda mantan interniran yang masih hidup, yang pernah diinternir di kamp-kamp interniran di Indonesia selama masa pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945 hingga kini tetap menuntut Pemerintah Jepang untuk meminta maaf kepada mereka atas perlakuan buruk yang diderita oleh para interniran tersebut, dan juga menuntut kompensasi. Pada 2 Mei 2005 di Den Haag, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi secara resmi telah menyampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya atas penderitaan yang dialami oleh para interniran Belanda.
Selain pembantaian massal yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan, pada 9 De­sem­­ber 1947 tentara Belanda te­lah membantai 431 penduduk kampung Ra­wa­­gede. KUKB menyatakan, bahwa pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Ra­wa­ge­de (Bekasi) adalah kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) ka­rena itu jelas melanggar kon­ven­­si Jenewa, yaitu dilarang menyiksa, apalagi mem­­bunuh penduduk sipil (non com­batant).
Di Rawagede yang dibunuh waktu itu bukan saja semua laki-laki yang berumur di atas 15 tahun, tapi ada juga yang masih be­rumur 12 tahun. Ada seorang pria yang baru menikah tiga hari juga dibunuh. Jandanya tidak pernah menikah lagi sejak suaminya dibunuh oleh tentara Belanda dalam peristiwa tersebut. Semua pria yang masih hidup dapat melarikan diri. Karena tidak ada seorangpun pria di kampung itu, ratusan mayat dikuburkan oleh para perempuan dan anak-anak dengan peralatan seadanya, sehingga diperlukan waktu berhari-hari untuk dapat menguburkan semua jenazah korban pembantaian tersebut.
Saat ini masih hi­dup 22 janda korban, 11 di an­ta­ranya sudah tinggal di panti jompo. Dalam acara peringa­tan Pem­bantaian di Ra­wa­­ge­de, yang dise­lenggarakan pada 13 Desember lalu, hadir 11 orang janda, di mana mereka memberikan surat kuasa kepada KUKB untuk mewakili mereka menuntut kompensasi kepada Pemerintah Belanda atas pembunuhan terhadap para suami mereka. Oleh karena buta huruf dan tidak bisa menulis, mereka membubuhkan cap jempol di atas surat kuasa bermeterai, yang kemudian ditunjukkan oleh KUKB kepada kedua anggota Parlemen Belanda tersebut.
Hutagalung mengingatkan, bahwa tahun 1969, pemerintah Belanda telah membentuk tim yang mengusut semua penyimpangan dan pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 -1950. Hasilnya telah disampaikan oleh Pemerintah Belanda kepada Parlemen Belanda pada 2 Juni 1969, dan kemudian tahun 1995 diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan itu memuat lebih dari 140 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Belanda, yang sebagian dinilai oleh beberapa kalangan Belanda sendiri sebagai kejahatan perang (oorlogsmisdaden). Namun setelah terbit laporan itu, tidak ada tindakan hukum yang dilakukan terhadap para pelaku kejahatan.
Sehubungan dengan ini, KUKB mengharapkan Pemerintah dan Parlemen Belanda konsisten dalam penegakan hukum dan HAM, yaitu mengadili dan menjatuhkan hukuman bagi para pelaku kejahatan. Setelah dijatuhi hukuman, apabila demi alasan kemanusiaan mengingat usia mereka telah lanjut, mereka kemudian diberi grasi dan dibebaskan, pihak KUKB menyatakan tidak keberatan. Yang terpenting adalah bukti bahwa Pemerintah Belanda juga menghargai hukum dan HAM. Selain itu, sebagai konsekwensi logisnya adalah pemberian kompensasi kepada para korban tindak kejahatan perang tersebut, sebagaimana telah dilakukan oleh Jerman dan Jepang.
Hutagalung juga menyampaikan, dalam konteks kesalahan di masa lalu, pemerintah Inggris menunjukkan sikap yang berbeda, yaitu ketika pi­haknya bersama para sesepuh pelaku sejarah me­­­­­ngadakan de­monstrasi di Kedutaan Besar Inggris pada 10 No­vem­­ber 1999, menyampaikan petisi kepada Pedana Menteri Tony Blair, yang isinya menuntut Pemerintah Inggris meminta maaf atas pemboman Surabaya November 1945 yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 penduduk Surabaya. Pemerintah Inggris juga dituntut memberikan kompensasi atas kerusakan yang diakibatkan oleh agresi milter Inggris yang terbesar setelah Perang Dunia II berakhir. Pada 1 April 2000 pemerintah Inggris mengi­rim Nigel Pooley dari De­par­temen Luar Ne­­geri Inggris dan bertemu dengan pihaknya di Surabaya.
Dalam seminar yang diselenggarakan pada 27 Oktober 2000 di Jakarta, Duta Besar Inggris waktu itu Richard Gozney, atas nama pemerintah dan rakyat Inggris menyampaikan permintaan maaf atas peristiwa yang terjadi di Surabaya pada November 1945, dan kemudian sudah memulai pembicaraan mengenai pemberian beasiswa dan pendirian Rumahsakit serta sekolah di Surabaya.
Dalam sambutannya di Indonesia pada 16 Agustus 2005, Menlu Ben Bot juga mengakui, bahwa “we were on the wrong side of history”, yang merupakan suatu pengakuan bersalah, dan menyatakan menerima kemerdekaan RI 17.8.1945 secara politis dan moral (political and moral acceptance). Seharusnya ada konsekwensi dari kalimat-kalimat tersebut. Apabila mengakui telah berbuat salah dan menerima secara moral, seharusnya ada tindakan nyata yang lebih tegas dan mengambil tanggungjawab moral terhadap kerusakan yang diakibatkan kesalahan yang telah dilakukan.
Terhadap hal-hal yang dikemukakan oleh KUKB, Koenders dan Eijsink tidak membantah, bahkan menyatakan dapat memahaminya. Mereka datang dari generasi yang lebih muda sehingga tidak punya beban. Koenders juga menyatakan keheranannya terhadap sikap kalangan Belanda yang menyatakan sebagai penganut Calvinis namun menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan ajaran Calvin. Bagi mereka berdua tidak ada masalah sama sekali untuk mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Koenders juga menyatakan ketidaksetujuannya atas glorifikasi VOC. Angelien Eijsink menambahkan, bahwa permasalahan yang disampaikan oleh KUKB sam­pai sekarang masih ditentang oleh sejumlah veteran Belanda, yang ma­sih bersikukuh tak mau mengakui kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan tidak mau me­minta maaf. Oleh karena itu Eijsink menganjurkan, agar KUKB juga bertemu dengan pihak veteran Belanda.
Mengenai kalimat Menlu Ben Bot yang menyatakan bahwa “we were on the wrong side of history”, Koenders menyampaikan, bahwa setelah ucapan itu di Belanda, orang-orang Belanda yang dihukum karena membangkang sebagai wajib militer antara tahun 1946 – 1949 untuk berperang di Indonesia, menuntut rehabilitasi mereka. Para pembangkang –di Belanda disebut sebagai Indonesië weigeraars- dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun, dan setelah keluar dari penjara, mereka kesulitan mendapat pekerjaan dan dihina sebagai pengkhianat bangsa Belanda.
Selain itu, menurut Koenders ucapan “we were on the wrong side of history” tersebut merupakan “strong statement”. Pertama, timbul pertanyaan, apakah yang sebenarnya terjadi di Indonesia setelah bangsa Indonesia kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dalam konteks ini, kedua, ada sinyal yang kuat tentang “crime responsibility” sehubungan dengan aksi polisional ke-1 dan ke-2 yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda waktu itu (Indonesia menamakan ini sebagai Agresi Militer I dan II, dan juga sebagai Perang Kemerdekaan I dan II). Ketiga, timbul “issue of recognition” (pengakuan) hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Koenders me­nanyakan apakah petisi-petisi yang disampaikan oleh Komite su­dah men­­dapat respons peme­rin­tah Be­landa. Ba­ta­ra Hutagalung menyatakan, bahwa ke­gia­tan KUKB telah berlangsung lebih dari ti­ga se­tengah ta­hun, dan beberapa petisi yang disampaikan sejak 20 Maret 2002 hingga sekarang sama se­­kali ti­dak ada tanggapan maupun jawaban dari Pe­merintah Belanda.
Koenders berjanji akan memper­tanya­kan kepada pemerintah Be­­­­landa melalui parlemen, menga­pa sama sekali tidak ada respons da­­­ri pemerintah Belanda terhadap hal-hal yang disampaikan oleh KUKB. Koen­de­rs juga mengatakan, bahwa ini seharusnya tidak bo­leh terjadi.
Oleh karena telah ada jadwal lain, Angelien Eijsink telah lebih dahulu meninggalkan pertemuan, yang kemudian diakhiri dengan foto bersama.

Jumat, 16 Desember.
Bertemu dengan Ad van Liempt di Hilversum. Hadir dari KUKB adalah Batara R. Hutagalung, Mulyo Wibisono, Jeffry Pondaag dan Charles Surjandi. Juga hadir Sie Hok Tjwan, pendukung KUKB di Belanda. Perkenalan kami dengan Sie Hok Tjwan terjadi di dunia maya, alias internet.
Ad van Liempt, seorang jurnalis yang juga Redaktur “Andere Tijden” dari Nederlandse Programma Stichting. Dia juga telah melakukan penelitian mengenai peeristiwa “Kereta Maut Bondowoso”, dan hasil penelitiannya telah diterbitkan dalam bentuk buku.
Peristiwa Kereta Maut Bondowoso terjadi pada 23 November 1947. Waktu itu Belanda mengevakuasi 100 orang pejuang RI yang ditawan di Bondowoso dan akan dipindahkan ke Penjara Kalisosok di Surabaya. Para tahanan dimasukkan ke dalam gerbong barang. Gerbong No. GR.10152 berisi 30 orang. Gerbong No. GR.446 berisi 32 orang dan No. GR. 5769 berisi 38 orang. Kereta berangkat dari Stasiun Kereta Api Bondowoso pukul 03.00 dini hari menuju Surabaya. Gerbong-gerbong barang yang tertutup rapat hanya memiliki beberapa lubang kecil sehingga ketika siang hari terasa sangat pengap karena kurang udara dan di dalam gerbong mereka berdesak-desakan berebut udara melalui lubang kecil. Selama perjalanan yang memakan waktu lebih dari 13 jam, gerbong tidak pernah dibuka atau diperiksa, dan para tahanan tidak diberi minuman dan makanan. Ketika di Surabaya gerbong-gerbong dibuka, ternyata 46 orang dari seratus orang tahanan telah meninggal akibat dehydrasi dan kekurangan oksigen untuk bernafas. Untuk mengenang tragedi ini, di tengah kota Bondowoso didirikan Monumen Gerbong Maut. Di Belanda drama kereta api ini disebut sebagai De trein van de dood.
Ad van Liempt juga pernah mewawancarai Kapten Pierre Paul Raymond Westerling dan Letnan Vermeulen, seorang mantan perwira dari unit pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST), yang terlibat dalam beberapa pembantaian missal di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 – Februari 1947.
Van Liempt mengemukakan penilaiannya terhadap para veteran Belanda yang pernah ikut dalam perang di Indonesia tahun 1946 – 1950. Ketika kembali ke Belanda, mereka dicemoohkan sebagai pecundang yang kalah perang. Menurut van Liempt, para pelaku pembantaian di Sulawesi Selatan melakukan gerakan tutup mulut bersama. Mereka enggan menceriterakan peristiwa pembataian terebut. Namun kemudian ternyata ada satu atau dua orang yang mau membuka mulut dan membeberkan beberapa peristiwa pembataian. Van Liempt mengatakan, bahwa yang terjadi di masyarakat Belanda saat ini adalah suatu collective denial (pengingkaran secara kolektif), yaitu tidak mau menerima kenyataan.
Kepada van Liempt, KUKB juga menyampaikan, bahwa tujuan dari kegiatan KUKB adalah merajut suatu rekonsiliasi yang bermartabat antara kedua bangsa, suatu Truth and Reconciliation, Namun harus ada pengakuan bersalah dari para pelaku pembantaian, dan Pemerintah Belanda harus memberikan kompensasi bagi para korban, janda korban dan ahli waris korban pembantaian/agresi militer yang telah dilakukan oleh tentara Belanda.
KUKB menyampaikan rencana penyelenggaraan Seminar di Belanda bulan Mei, Juni atau Juli 2006, dan menanyakan kesediaan van Liempt untuk ikut membantu dalam persiapan seminar tersebut. Ad van Liempt menyatakan kesediaannya menjadi Penasihat Panitia Seminar, di mana beliau dapat memberi masukan, siapa-siapa saja orang Belanda yang sebaiknya diundang sebagai pembicara dalam seminar. Beliau juga memberikan satu eksemplar buku “De Exessennota”, yang diterbitkan tahun 1995.
Buku tersebut merupakan laporan penelitian semua penyimpangan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara tahun 1945 – 1950 di Indonesia. Hasil penelitian yang dilaporkan secara resmi oleh pemerintah Belanda kepada parlemen Belanda pada 2 Juni 1969, memuat lebih ari 140 kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda, termasuk peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan, Rawagede, peristiwa Kereta Maut Bondowoso, perkosaan, perampokan dsb.
Sayang pertemuan dengan Prof. Dr. Joop E. Hueting yang rencananya berlangsung di Rotterdam pukul 14.00 batal, karena beliau masuk rumah sakit. Prof Hueting, seorang Psikolog dan Fisiolog, adalah orang yang pertama kali menggulirkan berbagai peristiwa pembantaian dan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Pertengahan tahun 1947 sebagai seorang wajib militer, dia dikirim ke Indonesia. Menjumpai kenyataan di lapangan, dia merasa terpukul dengan tindakan yang dilakukan oleh tentara Belanda, yaitu kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap rakyat Indonesia, bahkan pembunuhan para tawanan.
Berawal dari maraknya pemberitaan –termasuk di Belanda- mengenai pembantaian ratusan penduduk yang dilakukan oleh tentara Amerika di desa My Lai, di Vietnam Selatan pada 16 Maret 1968. Peristiwa ini baru terungkap awal tahun 1969. Prof. Hueting mengemukakan, bahwa yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, sama dengan yang telah dilakukan oleh tentara Amerika di desa My Lai tersebut.
Pada 19 Desember 1968, Prof. Hueting diwawancarai oleh Martin Ruyter, dari Harian De Volkskrant. Tanggal tersebut jatuh tepat 20 tahun dimulainya “politionele actie” (bagi Indonesia adalah Agresi Militer Belanda II) di Indonesia. Wawancara tersebut dibaca oleh redaksi Achter het Nieuws.
Pada hari Jumat, 17 Januari 1969, Hueting diwawancarai di rubrik berita Achter het Nieuws di VARA. Dalam acara ersebut, dia mempertanyakan, mengapa di Belanda tidak pernah dilakukan penelitian mengenai aspek-aspek juridis, sejarah dan ilmu pengetahuan sosial sehubungan dengan kejahatan perang (Hueting: oorlogsmisdaden) yang dilakukan oleh tentara Belanda di negeri ini (Indonesia – penulis) antara tahun 1945 – 1950. Setelah itu, masih di bulan Januari, Achter het Nieuws dua kali menyiarkan berita mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia.
Diskusi mengenai hal ini membangkitkan emosi di media massa dan di masyarakat Belanda, yang baru mengetahui mengenai apa yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia 20 tahun silam. Adalah televisi Belanda, dan bukan media cetak, yang menerobos kebisuan mengenai lembaran hitam Belanda di Indonesia. Prof. Dr. Jan Bank, guru besar di Universitas Leiden, yang memberi kata pengantar dalam penerbitan buku De Exessennota menilai, bahwa Prof. Huetinglah yang mengawali menerobos kebisuan mengenai masa kelam dalam sejarah Belanda, yang dikatakan oleh Ad van Liempt sebagai pengingkaran kolektif (collective denial).
Pada 21 Januari 1969, pemimpin partai oposisi dari Partrij van de Arbeid di Tweede Kammer (Parlemen Belanda), Joop M. den Uyl mengirim surat kepada Pemerintah Belanda, mempertanyakan pwemberitaan di pers Belanda. Pada 29 Januari 1969, Perdana Menteri Piet J.S. de Jong mengirim surat kepada Tweede Kammer, menyatakan bahwa pemerintah Belanda juga ingin memperoleh kejelasan yang besar mengenai hal ini. Kemudian Pemerintah Belanda pada 17 Februari 1969 membentuk “Coordinatiegroep Indonesië 1945 – 1950” yang merupakan komisi interdepartemen yang dipimpin oleh E.J. Korthals Altes dengan tugas meneliti semua arsip Belanda yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dituduhkan, yaitu berbagai tindak kekerasan dan bahkan kejahatan perang. Hasilnya sangat mengejutkan seluruh Belanda.
Pada 2 Juni 1969, Pemerintah Belanda menyampaikan hasil temuan tim investigasi kepada parlemen Belanda. Perdebatan terjadi ketika akan menamakan judul laporan. Pihak oposisi menyatakan, bahwa beberapa kasus pelanggaran dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang (oorlog misdaden – war crimes), namun pemerintah Belanda, yang sangat melindungi kepentingan veteran Belanda tidak menyetujui judul yang keras, dan akhirnya diambil kata yang lunak, yaitu “De Exessennota.” Laporan tersebut kemudian diterbitkan tahun 1995 dalam bentuk buku, dengan kata pengantar dari Prof. Dr. Jan Bank, dengan judul: “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat De Exessennota.

Tanggal 16 Desember sore hari.
Rombongan KUKB menghadiri penganugerahan Wertheim Award, yang diberikan oleh Yayasan Wertheim kepada Joesoef Isak, pemimpin penerbit Hasta Mitra dan Goenawan Mohammad, wartawan senior, yang juga pendiri majalah Tempo. Usai acara penganugerahan, kami sempat berbincang-bincang sejenak dengan Joesoef Isak dan Goenawan Mohammad serta Coen Holtzappel, ketua Yayasan Wertheim. Acara penganugerahan diselenggarakan di Kedutaan Besar RI di Den Haag.
Pada malam hari, setelah acara penganugerahan Wertheim Award dan diskusi yang diselenggarakan oleh Yayasan Wertheim, dilakukan diskusi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda dengan Goenawan Mohammad. Dalam kesempatan ini, Ketua KUKB memperoleh kesempatan menyampaikan kegiatan KUKB di Belanda, dan mengharapkan partisipasi mahasiswa Indonesia di Belanda dalam persiapan penyelenggaraan seminar di Belanda tahun 2006.
Hari Sabtu tanggal 17 Desember, rombongan KUKB berkunjung ke kediaman Jeffry Pondaag di Heemskerk. Dalam kesempatan ini, kami berkesempatan melihat koleksi dokumentasi yang tekah dikumpulkan oleh Jeffry Pondaag selama 15 tahun. Rekaman yang diambil dari tayangan televise telah mencapai sekitar 500 jam! Kami hanya dapat menyaksikan beberapa dokumentasi selama sekitar 4 jam saja.

Hari Minggu, 18 Desember, dilaksanakan pertemuan internal KUKB dan beberapa pendukungnya. Pertemuan berlangsung di Wisma Indonesia di Den Haag. Hadir dalam pertemuan adalah Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB, Laks. Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB, Jeffry Pondaag, Representatif KUKB di Belanda, dan para simpatisan KUKB, Charles Surjandi, Ruth Tomassen dan suaminya Rene Thomassen (orang Belgia yang sangat fasih berbahasa Indonesia), Louk Aznam, Asbari dan Supardi Adiwidjaja (koresponden Harian Rakyat Merdeka di Belanda).
Dalam pertemuan tersebut dibahas langkah-langkah KUKB selanjutnya, yaitu rencana penyelenggaraan seminar tahun 2006, pendanaan seminar dan pembuatan website KUKB, agar Kegiatan KUKB dapat lebih dikenal, baik di Indonesia maupun di Belanda.
Oleh karena itu website tersebut harus dibuat dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Belanda.
Dalam kesempatan itu, Batara R. Hutagalung sebagai pendiri dan Ketua KUKB, meresmikan pembentukan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua dan Charles Surjandi sebagai Sekretaris. Yang lainnya menyatakan kesediaan untuk membantu. Rene Thomassen menyatakan kesediaannya untuk membuatkan website KUKB secara gratis.

Hari Senin, tanggal 19 Desember.
KUKB bertemu dengan Jan Maassen di Den Haag pukul 11.00. Beliau adalah seorang mantan wajib militer Belanda, yang tahun 1949 menolak untuk dikirim ke Indonesia untuk berperang. Waktu itu, dia berusia 20 tahun, dan menjadi salah satu wajib militer termuda yang direkrut tentara Belanda. Menurut Jan Maassen, antara tahun 1946 – 1949 semula terdapat sekitar 6.000 orang yang membangkang, yang di Belanda dikenal sebagai Indonesië weigeraars (pembangkang Indonesia). Namun karena berbagai tekanan, akhirnya tinggal sekitar 1.200 yang tetap konsisten menolak berperang di Indonesia. Mereka menolak dengan berbagai alasan, antara lain dengan dasar agama, moral dan kemanusiaan/HAM.
Jan Maassen dan rekan-rekannya menolak disebut sebagai Dienst weigeraars (pembangkang wajib militer), karena mereka tidak menolak menjadi tentara, yang mereka tolak adalah dikirim untuk berperang di Indonesia sehingga mereka menamakan kelompoknya sebagai Indonesië weigeraars. Pada waktu itu, berita-berita mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia telah sampai di Belanda. Ternyata pemerintah Belanda telah membohongi para pemuda yang akan direkrut menjadi wajib militer. Mula-mula alasannya adalah melucuti dan memulangkan tentara Jepang, kemudian diberitakan bahwa mereka membantu memulihkan keamanan karena di India-Belanda banyak teroris dan perampok. Di Belanda juga sudah dilakukan berbagai demonstrasi dan aksi menentang agresi militer Belanda di Indonesia.
Banyak pemuda yang melarikan diri ke luar negeri antara lain ke Perancis dan Jerman Timur (DDR) dan kemudian selama bertahun-tahun menyembunyikan diri. Yang lainnya dimajukan ke pengadilan militer dan mendapat hukuman penjara. Para pembangkang etnis Yahudi dihukum penjara hanya sekitar 3 bulan, namun para pemuda yang digolongkan sebagai orang sosialis atau komunis, dihukum sampai 5 tahun penjara. Seorang wajib militer yang di Indonesia desersi dan bahkan kemudian berjuang di pihak Republik Indonesia adalah Poncke Princen, yang selama puluhan tahun tidak diizinkan berkunjung ke Belanda.
Jan Maassen sendiri dipenjara selama 3 tahun, karena penolakannya untuk berperang di Indonesia.
Setelah keluar dari penjara, pada umumnya mereka sulit mendapat pekerjaan, dan selalu dicap sebagai pengkhianat bangsa Belanda. Kalimat Menlu Belanda Ben Bot dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005, sehubungan dengan peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus 2005, menyatakan bahwa tahun 1945, “we were on the wrong side of history” (kami berada pada sisi yang salah dari sejarah), ternyata berakibat panjang. Tidak saja dalam hubungan Indonesia – Belanda, melainkan juga di Belanda sendiri. Para Indonesië weigeraars kini menuntut rehabilitasi nama baik mereka, karena apabila kini pemerintah mengakui, bahwa dahulu pemerintah berada di pihak yang salah, berarti mereka, para pembangkang, berada di sisi yang benar, oleh karena itu nama baik mereka harus dipulihkan. Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh Bert Koenders kepada KUKB, dalam pertemuan tanggal 15 Desember yang lalu.
Jan Maassen memberikan copy dari riwayat hidupnya, dan juga buku berjudul “de Indonesië weigeraars” yang ditulis oleh Kees Bals dan Martin Gerritsen. Atas pertanyaan KUKB, apakah beliau bersedia dating ke Indonesia apabila diundang? Jan Maassen yang belum pernah ke Indonesia menyatakan kesediaannya.

Tanggal 19 Desember, siang hari.
KUKB bertemu dengan Annemare van Bodegom di Amsterdam pukul 15.00. Pada usia 17 tahun, ketika masih sebagai siswi, Annemare menulis skripsi mengenai Indonesia. Hal ini dilakukan karena tertarik dengan ceritera ayahnya, yang lahir di Pematang Siantar tahun 1935. Selama pendudukan tentara Jepang di Indonesia tahun 1942 – 1945, van Bodegom dari usia 7 tahun sampai 10 tahun berada di kamp interniran di Banyu Biru. Awalnya dia sangat benci terhadap semua yang berbau Jepang, bahkan tidak bisa melihat warna merah bulat di tengah warna putih, namun kini dia tidak lagi menyalahkan siapapun.
Karena mengalami sakit cukup lama, Annemare baru menyelesaikan skripsinya –dengan bantuan sang ayah- tahun 1998. Dari hasil penelitiannya yang diberi judul: “ De Minnemoer van het Moederland.” Annemare menulis, bahwa kekayaan yang merupakan sisa hasil usaha (batig slot) yang ditransfer dari India-Belanda ke Belanda antara 1830 – 1877 sebesar 850 juta gulden, dan oleh CBS, suatu institusi di Belanda menghitung, apabila jumlah itu dikonversikan ke index harga konsumsi tahun 1992, akan mencapai 15,6 milyar gulden. Waktu itu, menurut Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda J.P. Pronk, utang Republik Indonesia kepada Belanda sebesar 6,3 milyar gulden. Jadi menurut Annemare, hanya dari perhitungan antara tahun 1830 – 1877 saja, Belanda harus mengembalikan uang kepada Indonesia lebih dari 9 milyar gulden. Selain itu, ribuan rakyat di Nusantara yang dijajah Belanda tewas akibat kerja paksa.
Annemare mengemukakan, bahwa pada dasarnya generasinya –kini dia berusia 26 tahun- tidak terlalu mempedulikan masa lalu.
KUKB menyampaikan misinya ke Belanda, yaitu untuk mengupayakan suatu rekonsiliasi yang bermartabat antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda, namun generasi muda Belanda perlu mengetahui masa lalu yang kelam yang telah dilakukan oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun di India-Belanda yang kini menjadi Republik Indonesia, terutama setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Annemare menyatakan kesediaannya masuk ke dalam jaringan yang dibentuk KUKB di Belanda untuk mengupayakan rekonsiliasi dimaksud dan juga bersedia menyebarluaskan gagasan ini di kalangan kerabat dan teman-temannya.
Sebelum berangkat kembali ke Indonesia, di bandara Schiphol, Amsterdam, KUKB masih mendapat kunjungan dari Piet de Blaauw, editor senior dari Netwerk TV Belanda. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pembicaraan melalui telepon yang dilakukan Piet de Blaauw dengan Batara R. Hutagalung dan dengan Martin Basiang SH (mantan Jaksa Agung Muda RI), yang juga adalah penasihat hukum KUKB, pada bulan November 2005.
De Blaauw menyampaikan, kemungkinan Netwerk TV akan mengirim tim yang akan membuat dokumentasi TV mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede.
Delegasi KUKB tiba kembali di Jakarta pada 20 Desember 2005, pukul 17.25 WIB.

Pertempuran 10 November 1945

10 NOVEMBER '45. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?


Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan Hindia.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas Hindia Belanda berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya (South West Pacific Area Command – SWPAC).
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, MacArthur diperintahkan untuk segera membawa pasukannya ke Jepang, dan kewenangan atas wilayah SWPAC diserahkan kepada Mountbatten.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan kepadanya, Mountbatten menulis:
Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese
.”
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh Dr. van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta –mungkin waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya- telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris.
Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Brigade 49, dengan julukannya “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, 42 tahun, mendarat di surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23, yang seharusnya ditugaskan untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun karena Divisi 5 yang seharusnya ditugaskan ke Jawa Timur, masih tertahan di Malaysia, oleh karena itu, Mallaby diperintahkan untuk segera ke Surabaya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out. "
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.

Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.” Isinya a.l.:
· Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
· Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
· Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
· The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
· The Allied forces shall not guard the city.
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.

Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari KaptenShaw
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to proceed to the Government offices, where we were each to collect an Indonesian representative. From there one of us was to go north, and the other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back to their barracks. Brigadier Mallaby was at this time in conference with the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”

Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”

Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”

Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W. Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan. Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan ((Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.”
Setelah Letnan Jenderal Sir Phillip Christison mengeluarkan ancamannya, dalam waktu singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat besar, mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai. Pada 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta dengan HMS Sussex dan mendaratkan 1.500 Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia memimpin pasukannya dan tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, Perwira Jerman yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby. Rincian pasukan Divisi 5:

4th Indian Field Regiment.
5th Field Regiment.
24th Indian Mountain Regiment.
5th (Mahratta) Anti-Tank Regiment (artileri).

17th Dogra Machine-Gun Battalion.
1/3rd Madras Regiment (H.Q. Battalion).
3/9th Regiment (reconnaissance battalion)
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds)

9th Indian Infantry Brigade.
2nd West Yorkshire Regiment.
3/2nd Punjab Regiment.
1st Burma Regiment.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal H.G.L. Brain)

123rd Indian Infantry Brigade.
2/1st Punjab Regiment.
1/17th Dogra Regiment.
3/9th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.J. Denholm Young)

161st Indian Infantry Brigade.
I/1st Punjab Regiment.
4/7th Rajput Regiment.
3/4th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.H.W. Grimshaw)

Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua merupakan penjelasan/rincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November pukul 14.00. adalah :

“November, 9th. 1945.

TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.

On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.

(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.

Instructions

My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th. November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards Modjokerto or Sidoardjo by road.

(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java

Mansergh telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga boleh dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi dan Kepala Radi
Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan di tempat berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.”
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.)

Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol, tombak, pisau, pedang, keris, bambu runcing, tulup, panah berbisa atau alat tajam yang dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya memutuskan, untuk tidak menyerah kepada tentara Sekutu dan memilih untuk melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan juga pasar-pasar. Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota segera memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak ke luar kota.
Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik Indonesia maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong ... Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat dilupakannya:
“… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua kakinya hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan kedua kakinya melintang di atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api yang lewat, sehingga kedua kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih sadar waktu dibaringkan ke tempat tidur, tetapi sebelum kita dapat menolongnya dia berseru:
‘Merdeka! Hidup Indonesia!’,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda yang menatap wajah anak perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun, yang tewas akibat lengannya putus terkena pecahan peluru mortir. Dia menggendong anak itu ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya telah tewas ketika sampai di Sepanjang. Kami menanyakan:
‘Di mana ayah anak ini?’
Ibu muda itu menjawab: ‘Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.’
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas. Abdulgani menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain, Kolonel dr. Wiliater Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat agresi militer Inggris dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan tentara Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja tewas atau luka-luka, termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah sakitnya ikut terkena bom. Pelaku sejarah yang menjadi saksi mata menilai pemboman tersebut adalah suatu kebiadaban.
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai 22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di pihak Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374 prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris dalam pertempuran dari tanggal 28 Oktober – 28 November 1945 mencapai 1.500 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan melakukan desersi dan bergabung dengan pihak Republik Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent to which they proved that Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate, intellectual cult but a people-wide, tough and urgent affair.”
Willy Meelhuijsen dalam bukunya “Revolutie in Soerabaya, 17 agustus – 1 december 1945” mengutip seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang menulis:
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying cry for the Revolution. It also convinced the British thet wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality. Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of collaborators without popular support. No longer could any serious observer defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari empat pertempuran dan perlawanan terhadap tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran “Medan-Area” dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris menyadari, bahwa masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer, dan Inggris sebagai tulasng punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke meja perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan Linggajati.

Alasan pemboman yang sebenarnya
Apabila dua butir alasan yang tertera dalam ultimatum 9 November 1945 tidak benar, apa alasan sebenarnya, yang membuat Inggris mengerahkan pasukannya yang terbesar dan termodern setelah Perang Dunia II usai?

I. Alasan psikologis-emosional.
· Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris.
· Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris memuncak pada 10 November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang mereka berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut adalah:
- sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur total;
- sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
- solidaritas korps, membalas dendam.

II. Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan jalan bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan beberapa perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika berlangsung pertempuran melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di Surabaya, perlahan-lahan Belanda mendatangkan pasukannya ke Indonesia, sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh pasukan Inggris telah ditarik dan diganti oleh pasukan Belanda…dan sebagaimana kita ketahui, itulah awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid dua. Penilaian mengenai tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati dua hal:

· Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), hasil pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini terbukti dari surat Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada komandan-komandan divisi, yang isinya:

Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.

Re. Directive ASD4743S.

You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.

I wish you God speed and a sucessful campaign.

(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.

Kalimat:
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” dan “……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”

· Melaksanakan Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, yang isinya kesediaan Inggris membantu Belanda dalam upaya untuk kembali berkuasa di Indonesia. Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut diperkokoh oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco tanggal 10 Desember 1945 menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di Singapura, Letnan Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda. Di samping melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya- dipersenjatai Jepang” kelihatannya Inggris memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda, serta menjalankan hasil keputusan Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada “Status Quo” seperti sebelum invasi Jepang.

Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando, dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI), Letnan Jenderal Sir Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan brigade, seluruhnya adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan menggunakan kaidah kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari kronologi kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti satu persatu, maka rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:

· Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
· Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
· Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
· Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober.

Bila dinilai tingkat kesalahan, maka akan terlihat:
· Mengenai tewasnya Mallaby, kemungkinan kesalahan ada pada kedua belah pihak, walaupun kemungkinannya lebih besar, bahwa Mallaby tewas akibat granat yang dilempar oleh Captain Smith. Di sini dapat dikemukakan pendapat J.G.A. Parrot, sebagai konklusi atas analisisnya, yaitu pertanyaan ke 3, mengenai siapa yang bersalah atas tewasnya Brigadier Mallaby:
Who, if anyone to blame for Brigadier Mallaby’s death?” ,
maka Parrot menulis, bahwa tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri:
….In the circumstances the only answer can be given to Question 3 is that Brigadier Mallaby was himself responsible for the situation that resulted in his death.
Kesimpulan inilah yang sangat penting!
· Berdasarkan kesaksian Kapten Smith, Mayor Gopal dan keterangan Tom Driberg -yang memperoleh informasi dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby- telah diakui oleh pihak Inggris, bahwa yang memulai menembak adalah tentara Inggris yang berada di Gedung Internatio, atas perintah Mayor Gopal. Dengan demikian, terjadinya tembak-menembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby adalah kesalahan Inggris.
· Pecahnya pertempuran 28 Oktober adalah kesalahan Inggris, yaitu provokasi pamflet dari Jakarta tertanggal 27 Oktober, karena dengan demikian Inggris jelas telah melanggar kesepakatan tanggal 26 Oktober 1945 antara pimpinan militer Inggris (Mallaby) dan pimpinan Republik Indonesia di Surabaya.

Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah kausalitas, dari rangkaian kejadian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa pemicu segala malapetaka dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27 Oktober 1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan Inggris.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Tentara Inggris
Dengan agresi militer yang dilancarkan mulai tanggal 10 November 1945, tentara Inggris telah melakukan sejumlah pelanggaran besar. Dari hasil analisis, pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Inggris adalah sebagai berikut:

· Pelanggaran Kedaulatan Republik Indonesia
Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan agresi militer yang dilancarkan tentara Inggris atas suatu wilayah Republik Indonesia, dilakukan mulai tanggal 10 November 1945.

· Pelanggaran Atlantic Charter dan Charter for Peace
Walaupun pada saat itu Republik Indonesia belum diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), situasi dunia waktu itu sudah hangat dengan pernyataan kemerdekaan dari berbagai negara bekas jajahan. Pengakuan resmi hanya masalah waktu saja. Atlantic Charter mengenai “Rights for Selfdetermination" (hak untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa) dan kerjasama antar bangsa dalam menyelesaikan pertikaian internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill menandatangani Atlantic Charter yang isinya a.l.:
“…Kami menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya dan kami menghendaki supaya hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri (self determination) dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan ...”

Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa negara di San Francisco, yang menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni 1945. Kesepakatan beberapa negara di San Francisco tersebut menjadi dasar pembentukan PBB, yang diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain tidak konsisten dengan Atlantic Charter yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris, Inggris sebagai salah satu negara pendiri PBB melanggar beberapa prinsip yang telah mereka tentukan sendiri. Ini dapat dilihat dari Preambel serta beberapa pasal Anggaran Dasar PBB. Dalam informasi yang dikeluarkan oleh PBB tertera:

The United Nations was established on 24th October 1945 by 51 countries committed to preserving peace through international cooperation and collective security. When States become Members of the United Nations, they agree to accept the obligations of the UN Charter, an international treaty which sets out basic principles of international relations. According to the Charter, the UN has four purposes: to maintain international peace and security, to develop friendly relations among nations, to cooperate in solving international problems and in promoting respect for human rights, and to be a centre for harmonizing the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the UN, all the Member States - large and small, rich and poor, with differing political views and social systems - have a voice and vote in this process.”
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November 1945, setelah berdirinya PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri dan anggota PBB, Inggris telah menandatangani persyaratan untuk mematuhi Charter for Peace, Preambel dan Anggaran Dasar PBB. Kelihatannya memang benar, bahwa Inggris terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun perjanjian yang telah mereka setujui dan tandatangani.


· Pelanggaran Preambel PBB
Dalam Preambel PBB tertulis a.l (lihat Web site: www.UN.org)
- to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and
- to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small, and
- to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising from treaties and other sources of international law can be maintained, and
- to promote social progress and better standards of life in larger freedom,
AND FOR THESE ENDS
- to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbours, and
- to unite our strength to maintain international peace and security, and
- to ensure, by the acceptance of principles and the institution of methods, that armed force shall not be used, save in the common interest, and
- to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples,
HAVE RESOLVED TO COMBINE OUR EFFORTS TO ACCOMPLISH THESE AIMS
Accordingly, our respective Governments, through representatives assembled in the city of San Francisco, who have exhibited their full powers found to be in good and due form, have agreed to the present Charter of the United Nations and do hereby establish an international organization to be known as the United Nations.

· Pelanggaran Bab 1 (Pasal 1 dan 2), Anggaran Dasar PBB.
Bab 1, Pasal 1:
The Purposes of the United Nations are:
1. To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
2. To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;
3. To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and
4. To be a centre for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends.
Bab 1, Pasal 2:

The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 1, shall act in accordance with the following Principles.
1. All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
2. All Members shall give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with the present Charter, and shall refrain from giving assistance to any state against which the United Nations is taking preventive or enforcement action.
3. The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security.
4. Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.


· Pelanggaran HAM
- Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crime against humanity)Di dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil. Tindakan tentara Inggris untuk membalas dendam dendam atas tewasnya seorang perwira tinggi, telah mengakibatkan tewasnya belasan ribu, bahkan mungkin lebih dari 20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya banyak sarana/prasarana nonmiliter, karena waktu itu sasaran militer sendiri tidak banyak di dalam kota Surabaya.

- Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 100.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced persons) ke luar kota Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, karena dalam situasi kepanikan, tidak sempat memikirkan untuk membawa benda berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh pengungsi tersebut berlanjut selama berbulan-bulan, sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.

- Penyimpangan Tugas Allied Forces
Tugas yang diberikan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu/Serikat) hanyalah tiga butir, yaitu:
1. Melucuti persenjataan tentara Jepang serta memulangkan kembali ke negaranya.
2. Rehabilitasi tawanan tentara Sekutu dan interniran (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees –RAPWI).
3. Memulihkan keamanan dan ketertiban (To maintain Law and Order).

Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu Belanda kembali berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada merupakan perjanjian rahasia antara Churchill dan Roosevelt di sela-sela konferensi Yalta dan perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda (lihat dokumen Lord Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau penunggangan tugas Allied Forces serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Allied Forces kepada tentara Inggris dan Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik hidden agenda di konferensi Yalta yang diperkuat dengan deklarasi Potsdam, serta perjanjian bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs Agreement, tidak sejalan dengan tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando Tentara Sekutu Asia Tenggara.


- Kejahatan Perang (War Crimes)
Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan sudah mendapat pengakuan dari beberapa negara. Kini Republik Indonesia juga tercatat sebagai anggota PBB dengan hari kemerdekaan adalah 17.8.1945. Tidak ada pernyataan perang dari pihak mana pun, baik dari pihak Inggris maupun dari pihak Indonesia. Bahkan pihak Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya pertempuran. Alasan Inggris waktu itu adalah menumpas ekstremis, dengan mengabaikan bahwa “ekstremis” tersebut ada di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh tentara Inggris –terbesar setelah berakhirnya Perang Dunia II- tidak dalam konteks perang dan tanpa pernyataan perang. Pemboman terhadap obyek-obyek non-militer dan pembunuhan terhadap non-combatant dalam agresi militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang (war crimes).